III. Handai

34 5 0
                                    


Suara besi berdentang sayup dari balik kaca pembatas di hadapanku. Beberapa belas pekerja menaruh nasib mereka di dalam ruangan itu, berbarengan dengan robot-robot perakit yang bekerja tiada henti-hentinya hingga roda gerigi mereka sendat dan perlahan berhenti berputar.

Aku memandangi bayangan diriku yang terpantul dari kaca pembatas. Bayangan itu sedang berdiri tegap di atas dua kaki. Rambut panjangku terkuncir ke belakang, menyisakan sebagian kecil poni yang menutupi sebelah pelipis. Aku mengenakan kemeja dinas biru tua bersematkan bros Kementerian Pertahanan yang pas melapisi kulit langsatku.

"Alana," aku mengaktivasi P.A.L.-ku, "kopi. Tanpa gula, ekstra krimer."

"Perintah diterima." Tak lewat dua detik, aroma kopi sudah memenuhi ruangan. Secangkir kopi terhidang di atas meja kerjaku. Kopi buatan Alana tak kalah nikmatnya dari kopi buatan manusia. Sayangnya, aku tak bisa membawa Alana pulang. P.A.L. ini hanya ditugaskan untuk melayaniku selama dinas.

Sambil pelan-pelan menyesap kopi, aku mencoba mengakses rekaman televisi sirkuit tertutup yang dilaporkan bermasalah melalui P.A.D.--Personal Access Device--yang kugenggam dengan tangan kiriku. Rekaman-rekaman itu tersusun atas lima rekaman mendatar serta tiga rekaman menurun yang masing-masing menggambarkan kondisi area tertentu. Rekaman di sebelah kiri atas berisi keadaan gerbang depan pabrik, sementara rekaman di sebelah kanan bawah berisi keadaan pintu belakang.

Video telah berjalan selama kurang lebih dua puluh menit tanpa keganjilan apapun. Siapa yang mengajukan laporan ini? Menambah pekerjaanku saja.

Aku menumpu punggungku pada sandaran kursi. Baru beberapa pekan lamanya aku dipromosikan ke posisi pengawas lapangan. Sebelum ini, tempat kakiku berpijak ada di bawah situ, di antara mesin-mesin panas dan ban berjalan.

Tinggi kopi di dalam cangkirku sudah hampir mencapai dasar. Rasanya masih ingin lagi. "Alana," ujarku, "kopi, tanpa gu..." ucapanku terhenti begitu saja di saat aku melihat sebuah proyektil di dasar cangkir. Refleks, aku terperanjat. Apa maksudnya? Seorang bawahan, mungkin mantan kolega yang dengki padaku dan berusaha mengancamku? Ah, mana mungkin orang sembarangan punya akses terhadap P.A.L. dinas ini.

Pandanganku kembali ke P.A.D. yang bergetar. Cap waktu yang awalnya menunjukkan angka empat puluh titik dua menit, tiba-tiba berganti menjadi SIARAN LANGSUNG. Sekonyong-konyong, delapan rekaman redup hingga berwarna hitam legam, menyisakan satu rekaman yang berada tepat di tengah layar.

Sebuah drone quadcopter. Benda itu terbang tepat di depan lensa kamera. Dua pasang laras penembak otomatis keluar dari tubuh drone itu. Aku memeriksa tempat di mana kamera nomor delapan ini terletak...

Kamera nomor delapan terpasang tepat di depan pintu ruangan ini.

Lampu ruanganku berubah menjadi merah cerah yang menyakitkan mata. Terdengar suara dobrakan. Drone itu kini ada di depanku yang terperosot dari kursi, masih memegang P.A.D. dengan erat.

Seraya membidik dahiku, drone itu memproyeksikan wajah seseorang di atas baling-balingnya yang berputar. Layar P.A.D.-ku tiba-tiba ikut berubah, menampilkan wajah orang yang diproyeksikan oleh drone. Melihat wajah itu, kebingunganku semakin bertambah berkali-kali lipat. Ia adalah...

Ramiel Grant.

"Grant!" Mataku meneliti sekelilingku yang tak lagi memancarkan rona merah dari setiap sudutnya. Ini kamarku. Penunjuk waktu yang terpampang di layar P.A.D.-ku menunjukkan pukul satu pagi. Nampaknya, aku baru saja terbangun dari mimpi burukku. Telah lama rasanya aku tak mengalami mimpi buruk semenjak aku hidup di dalamnya.

ApotheosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang