Aku terbungkam, tak mampu berkata-kata. Sang Nabi... Kukira nama itu sebatas legenda. Nama itu kerap kali disebut bersamaan dengan perasaan ngeri. Dalam kepercayaan republik lama, nabi dikaitkan dengan seorang pembawa berita, penyingkap wahyu. Namun, seiring berkembangnya pola pikir masyarakat menuju state atheism, konsep-konsep itu mulai dianggap usang dan tidak relevan.
Ganjilnya, setelah revolusi yang terjadi sewindu lalu, banyak beredar kabar burung mengenai keberadaan seorang 'Nabi'. Tentu, nabi yang dimaksud bukan seperti nabi-nabi ribuan tahun lalu. Salah satu rekan kerjaku dahulu pernah mendapat sebuah pesan daring melalui koneksi terenkripsi yang mengatasnamakan Sang Nabi. Pesan itu berisi sebuah 'ramalan' bahwa dalam beberapa hari, seseorang akan meretas Identity Chip-nya--yang berakibat pada pengurasan isi rekening dan perdagangan identitas--serta tawaran untuk mencegah peretasan itu terjadi. Dengan naif, rekanku memberi kode sandi perantinya pada nabi gadungan itu. Hanya dalam hitungan menit, akunnya ludes tak bersisa.
Jika pertemuanku ini terjadi secara maya, aku tak akan berpikir dua kali untuk tak percaya padanya. Akan tetapi, setelah melihat apa yang ia lakukan terhadap Lucy, melawan hanya akan menjadi kesia-siaan belaka. Kalaupun ia berniat menipuku, untuk apa menunjukkan batang hidungnya? Kedatangannya mengisyaratkan tujuan lain. Mungkin lebih mulia, mungkin lebih bobrok.
"Jangan takut. Aku kawanmu."
Dua frasa itu menggema di dalam kepalaku. Kawan? Lucy adalah satu-satunya kawanku, dan orang ini telah yang membunuhnya. "Kau lebih mirip pembunuh berantai."
Orang itu masih berdiri kaku di hadapanku. Ia mencampakkan jaketnya ke lantai. "Pembunuh berantai pun butuh kawan sepersekutuan," ia berujar dingin dengan tatapan layaknya sedang menerkam, "bukan begitu, Alexandra?"
Separuh tubuhku merinding ketika ia melafalkan namaku. Sudah begitu asingkah aku pada diriku sendiri hingga lupa pada jati diri? "You killed my friend. My only friend." Kata-kata itu melesat keluar bagai meriam. Ketakutanku beralih menjadi kebencian.
"And I'm the only one with the ability of reviving it," balasnya tanpa melepaskan jalinan tatapan matanya denganku. Ia melangkah mundur, menggapai sebuah kursi dari sekitar meja makan, menyejajarkannya tepat di depan kursi rodaku, lalu mendudukinya. Entah kapan terakhir kali kursi itu ditempati. "Aku mengerti penderitaanmu, kesendirianmu, hingga kemuakanmu terhadap manusia dan kemanusiaannya. Damn well I get it." Gaya bicara dan bahasa tubuhnya kini menunjukkan keterbukaan. Aku bukan pengagum perubahan karakter sedrastis ini. "Namun, bukan berarti kau bisa melepaskan kemanusiaanmu."
Melepaskan kemanusiaanku? "Your point, Mr. Prophet." Raut wajahku kini pasti menggambarkan keheranan.
"Dalam hitungan hari, kau akan menentukan kematian seseorang."
Dari awal aku sudah menduga bahwa ia akan memuntahkan ucapan semacam itu. "Omong kosong. Aku tak percaya tanbiat, predestinasi, apalagi kenabian. Kau datang ke kamar yang salah."
"Waktu tak membutuhkan restumu untuk bergulir. Takdir tak membutuhkan kepercayaanmu untuk tersingkap." Ia melontarkan kedua kalimat itu seolah-olah sedang bersabda. "Oliver Strathmore, bajingan itu, baru-baru ini mencanangkan sebuah program eksperimental. Dalihnya, program ini bertujuan untuk menekan pertumbuhan penduduk dengan memberi tempat berlabuh terakhir di matrix, tentu secara sukarela. Namun, menilai rekam jejaknya sebagai Menteri Pengawasan dan Pengendalian Sosial selama delapan tahun terakhir ini, mustahil program ini punya tujuan sesuci itu," Sang Nabi melepaskan napas panjang. Cara berujarnya mengimplikasikan kegelisahan yang disembunyikan. "Dan kau, Alexandra Laguardia, adalah satu dari sedikit orang yang dapat menghentikan Strathmore."
KAMU SEDANG MEMBACA
Apotheosis
Science FictionLumpuh dan sekarat, Xandra meratapi kehidupan tanpa mampu mengakhirinya. Sebuah kecelakaan merenggut semua hal yang membuat keberadaannya berarti. Namun, Xandra harus percaya bahwa kedatangan Sang Nabi bukanlah kecelakaan. Takdir melibatkan mereka...