VII. Tabib

26 3 0
                                    

Wanita itu tak serta-merta membidikku dengan senjatanya. Jelas sekali, ia bahkan tak berani menempelkan telunjuknya di pelatuk. Meski begitu, aku tetap mengangkat kedua tanganku ke udara.

"Pasien lantai berapa kau? Untuk keperluan apa kau di sini? Ini area terlarang. Cepat kembali ke bangsalmu." Kata-katanya terucap jelas, namun aku dapat merasakan sedikit getaran dari suaranya. Suaranya... membuatku merasa seakan-akan aku pernah mengenalnya.

"Aku tak ingat dokter diperbolehkan memiliki senjata," ucapku sambil melirik jas putihnya, "kau bahkan tak tahu cara membidik." Aku merasakan kepanikan menjalar dari tubuhnya yang merinding. Kau tertangkap basah. Kita sama-sama tertangkap basah. Kami berdua sedang mengulur waktu sebelum salah satu dari kami mengakui maksud dan tujuan masing-masing. Cahaya lampu soliter dari kejauhan menjangkau sebuah plat besi yang tertanam di kantong jasnya. "Apa perasaanku saja, Dok... ataukah benar kau seorang teman lama?"

"Aku tak mengenal istilah teman," ujarnya sambil mengawasi tanganku yang terangkat, "yang kutahu hanya rekan dan lawan."

"Sejujurnya, aku tak tahu posisiku dari sudut pandangmu..." aku menjeda sebelum menyebut namanya, "tapi kau harus mempertimbangkan untuk menambahkan pasien ke dalam perbendaharaan katamu, Dokter Bossieux."

"Aku tahu kau baru saja membaca plat namaku. Siapa kau?"

"Izinkan aku melangkah lebih dekat," jawabku sambil perlahan menurunkan tangan dan menggulirkan rodaku, "mungkin wajahku akan terlihat lebih jelas olehmu dari sini."

Dr. Bossieux menurunkan pistolnya, meski kakinya masih dalam posisi kuda-kuda. "La... Laguardia?" Mulutnya menganga, mungkin terperanjat karena tak menyangka aku masih hidup. "Alexandra Laguardia?"

Aku sedang berusaha keras untuk menahan emosiku yang dapat membuncah kapan saja. Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku menemui orang yang setidaknya bertanggung jawab terhadap kelumpuhanku. "Dulu kau memanggilku Pasien 375-00825."

Ia mengantongi pistolnya. Lagipula, keberadaanku tak terlihat seperti ancaman yang berarti. "Bagaimana kau bisa ada di sini?" Nada suaranya menunjukkan ketakjuban.

"Untungnya, tanganku masih berguna," jawabku sarkastis, "dan kursi rodaku berfungsi dengan cukup baik."

Dr. Bossieux melepaskan kacamata visi malamnya. "Kau tahu," ujarnya sembari berbalik membelakangiku, "tak mudah menatap matamu dari jarak sedekat ini."

"Menjijikkan, ya? Aku harus menatap bayanganku sendiri di kaca hampir setiap hari. Bayangkan betapa jijiknya."

"Bukan!" Wanita separuh abad itu menolehkan wajahnya. "Bukan rasa jijik... hanya rasa bersalah."

Aku tak dapat membendung tawaku. Menggelikan. Orang ini punya rasa bersalah? Aku masih ingat betul raut datar wajahnya ketika menolak permohonanku. Ia bukan orang yang sentimental. Ia tak punya perasaan. Tak ada yang lebih penting baginya ketimbang karier dan reputasi. "Kukira hati nuranimu sudah kau donorkan pada pasien lain yang membutuhkan."

"Kesempatannya sangat kecil, Laguardia! Tak perlu berbicara tentang menyembuhkan kakimu, aku bahkan tak yakin kau dapat bertahan hidup jika aku menerapkan eksperimen pengobatan itu padamu!"

"Lalu apa? Setidaknya aku pernah mencoba. Kau mencegah usahaku untuk mempertahankan makna hidupku sendiri. Lebih baik aku mati karena berusaha daripada hidup dalam kesia-siaan."

"Dengar," ujarnya sembari berkacak pinggang, "aku melakukan sebuah kesalahan, maafkan aku. Masalahnya, kesalahanku waktu itu tak hanya berdampak padamu, tapi juga padaku."

"Benarkah?" Aku terperanjat. Mengobrol di tengah kegelapan, aku tak dapat melihat jelas raut wajahnya.

"Kau dalam bahaya sekarang. Kau buronan."

ApotheosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang