VIII. Putra

26 1 0
                                    

Bocah lelaki itu mencengkeram birai tangga erat-erat. Matanya melotot ke arah R, tak mengerti apa dan siapa yang tengah dihadapinya.

Aku langsung meluncur ke arah mereka dan menutup pintu di belakangku. Bisa terjadi keributan bila orang lain menyaksikan adegan ini. "R, what the--"

"Tidak usah ikut campur," balasnya ketus. Tangannya masih menggenggam pistol. Telunjuknya membelai pelatuk, namun kali ini ia berpaling padaku. "Ini bukan urusanmu."

"Kau sudah gila? Tidakkah kau lihat ia hanya seorang anak kecil? Aku sama sekali tak melihat ada yang berbahaya dari anak i--"

"Kau tak melihatnya, memang tak akan bisa. Tetapi, aku sudah menyaksikan semua kejahatannya meski bukan dengan mata kepala sendiri. Tak percaya?" Ia mengembalikan pandangannya pada si anak kecil yang berusia tak lebih dari sembilan tahun itu. "Hei, beri tahu tante itu siapa namamu."

"Thom... Thomas," jawab bocah itu ragu-ragu. "Thomas George Larsson."

"Okay, straight to the crash course. Thomas Larsson adalah nama dari seorang pejabat negara yang menempati posisi Menteri Riset dan Teknologi periode 2082--hingga seterusnya."

"Aku akan jadi menteri?" anak itu merespons dengan sumringah tanpa peduli pada moncong senjata yang siap menembakkan proyektil menembus otak besarnya.

"Ssst," R mendiamkan Thomas. "Intinya, kau akan mengetuai sebuah proyek genosida penduduk asli Indonesia... dan namamu akan dikenang sebagai pahlawan. Setiap kali aku melihat wajahmu, asam lambungku naik. Senyummu terbuat dari darah manusia yang tertumpah demi sebuah propaganda busuk. Matamu berbinar akibat air mata orang-orang tertindas dan kau tak sedikit pun malu akan dosa-dosamu."

Mulut Thomas menganga mendengar penjelasan panjang lebar yang barusan dilontarkan oleh R. "Apa itu Indonesia?"

"Lebih baik kau tak usah tahu. Aku tak akan membiarkanmu merenggut nyawa siapapun."

Aku tak bisa tinggal diam. Ini sudah kelewatan. "R, pikirkan sekali lagi. Apakah dengan menyingkirkan Thomas maka tak akan lahir Thomas-Thomas yang lain?"

"Ya." R mengencangkan pegangan tangannya pada bahu Thomas. "Hanya dia yang mampu melakukan kekejian sekejam itu, meski dengan bantuan terselubung dari asistennya."

"Apa kau akan mengejar asistennya juga?"

"Dapat kupastikan, asistennya belum lahir dalam beberapa jam ke depan."

Belum lahir dalam beberapa jam ke depan? "Mereka pasti masih muda sekali ketika terpaksa membinasakan sebagian populasi dunia," ucapku naif. R tak membalas apa-apa dan aku menyadari kecanggungan di tengah kami.

"Aku punya sebuah ide," tiba-tiba suara kaku Lucy terdengar. Thomas nampak terkejut mendengar keasingan suaranya, ia bahkan hampir terjungkal ke belakang jika R tak menangkap tubuh mungilnya. "Bagaimana jika kita tunggu sang asisten lahir, lalu..."

"Tidak, Lucy. Ide buruk. Buang ide itu."

Lucy menghembuskan napas meskipun ia tak bernapas. "Baiklah," ujarnya lirih. Aku merasa buruk terhadapnya.

"Kalian membuang-buang waktuku." R memosisikan pistol gelombangnya di tengah dahi Thomas. Bocah itu mengernyitkan dahi lalu memejamkan matanya, belum siap menghadapi kematian yang terlalu dini baginya. "Kekuatan terkecil pistol ini sanggup mengacaukan fungsi otakmu serta memutuskan sambungan saraf-sarafmu. Tadinya, aku bisa saja meluangkan nyawamu... tapi kau sudah mendengar terlalu banyak. Tak mungkin aku meninggalkanmu sendiri dengan semua informasi tentang masa depanmu yang merembes masuk dalam memori jangka panjangmu."

"That's it! Itulah jawabannya!" sahut Lucy setelah R menyelesaikan kalimatnya.

R menengok ke arahku lalu membelalakkan matanya ke arah Lucy. "Apa? Aku tak membawa alat penghapus ingatan denganku sekarang."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ApotheosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang