Dua

247K 6.5K 86
                                    

Dari kemnarin baru sempat up sekarang 🤗🤗

Maaf ya, lama 😁

Rara mengepalkan tangan kanannya, dia meringis menahan sakit. Darah segar mulai menetesi pangkuan, tapi dia tidak peduli. Memejamkan mata, Rara memperkuat kepalan tangan.

Lima detik kemudian, dia membuang kaca itu menjauh, teringat bayangan ketiga adiknya.  Mereka masih sangat membutuhkannya, akan jadi apa ketiganya jika dia memilih mengakhiri hidup.

Hanya dia satu-satunya harapan agar kehidupan adik-adiknya lebih baik lagi.

Memeluk tangannya yang terluka, Rara meraung, menyalahkan takdir Tuhan. Kenapa ketenangan selalu jauh dari jangkauannya? Dia juga menyalahkan sang Nyonya yang menyuruhnya mengirimkan gambar dan video guci-guci keparat ini di tegah malam buta. Rara juga menyalahkan Darka.

Lelaki itu bisa membantunya, dia punya banyak uang. Darka juga anak lelaki kesayangan sang bos besar. Pasti bisa membantu menenangkan sang Nyonya jika sedang murka.

Namun Darka menolak, dia baru mau membantu jika keinginan lelaki itu dituruti. Keinginan gila yang tak akan sanggup Rara jalani.

Melarikan diri, itu memang ide yang sangat brilian. Dia akan terbebas dari tanggung jawab, dan langsung masuk penjara bila tertangkap. Keluarga  ini punya banyak uang, tidak akan sulit menyuruh orang-orang untuk memburunya.

Rara juga bingung mau melarikan diri ke mana?

Ke kampung halaman?

Jangan bercanda. Rara sangat dibenci Ibunya, dia juga belum mau bertatap muka dengan wanita gila yang telah melahirkannya ke bumi.

Memukul dada, rasa sesak di sana membuatnya sulit bernapas. Air mata juga tidak kunjung berhenti. Pikirannya kacau, tidak ada satu pun solusi yang dia dapatkan.

Untuk waktu yang sangat lama, Rara masih duduk di sana. Menangisi nasibnya.

Hingga pukul enam pagi, saat kendaraan mulai terdengar semakin banyak berlalu lalang, Rara bangkit. Dia tertatih menuju dapur.

Tugas adalah tugas. Sekacau apa pun dirinya tidak mungkin Rara membiarkan pecahan kaca masih tetap di sana. Ada Disha di sini, si kecil yang luar biasa aktif itu bisa terluka jika menginjak pecahan kaca ini.

Membungkus tangannya yang terluka dengan asal, Rara kembali ke pecahan kaca dan mulai membersihkannya.

Dia sesekali akan terhenti, melamun dengan air mata mengalir. Tersadar Rara kembali membersihkan kerusuhan yang dibuatnya.

Pukul setengah tujuh pagi, saat Rara hendak berjala ke arah kamar Disha, telepon rumah berdering. Rara cepat-cepat memutar haluan dan mengangkat panggilan.

"Halo," kata Rara.

"Halo, Rara." Rara menelan ludah. Dia sangat mengenal suara siapa ini, sang Nyonya.

Rara jatuh terduduk di sofa, dia tidak sanggup menahan bobot tubuhnya.

"Suara apa itu?"

"Bu-bukan apa-apa, Nyonya." Rara mengusap air mata yang tak disangkannya akan keluar.

Ini baru mengangkat telepon sang Nyonya, belum bertatap muka dan dia sudah sangat ketakutan. Tubuhnya bergetar dan jantungnya berdebar dengan sangat menyakitkan.

Apa lagi jika dia harus berhadapan dengan Nyonya besar. Rara pasti langsung mati saat itu juga. 

"Disha masih tidur?"

"Masih Nyonya. Saya baru saja hendak membangunkannya," jawab Rara terbata.

"Bagaimana guci saya. Baik-baik saja, kan? Perasaan saya tidak enak sejak bangun pagi."

Rara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang