Delapan

151K 6.6K 248
                                    

Rara gelisah, dia meremas tangannya. Ingin bertanya, tapi takut pertanyaannya akan menyinggung Darka. Akan tetaapi jika tidak, dia penasaran. Berdehem Rara berkata, "Apa Tuan tahu ponsel saya ada di mana?" Rara menunduk, dia melirik Darka takut-takut. Mereka berada di mobil, dalam perjalanan menjemput Disha.

"Maksudmu?"

Menggigit bibirnya, Rara menjadi menyesal telah menanyakan pertanyaan tadi. "Ponsel saya hilang." Dia menggaruk tengkunya salah tingkah.

"Kamu menuduh saya mencurinya?"

"Maaf. Bukan itu maksud saya." Rara menggeleng dengan cepat. Dia tidak pernah berpikir seperti itu. Darka memiliki banyak uang, untuk apa mencuri ponselnya yang super jelek itu.

"Lalu."

"Bukan apa-apa, Tuan. Ini hanya masalah tidak penting." Rara menunduk, dia tidak berani menatap Darka yang menoleh ke belakang.

Dalam hati dia berdoa agar lampu jalan segera berubah, agar mobil kembali berjalan.

"Tidak penting, tapi kamu berani-beraninya menuduh saya mencuri."

"Maaf Tuan. Maafkan saya." Rara terbata. Dia menjadi semakin menyesal atas tindakannya.

Darka hanya mendengkus, lelaki itu terus terdiam selama perjalanan. Membuat Rara dilanda gelisah.

Memukul-mukul kepalannya. Dia kembali berusaha mengingat di mana terakhir kali dia memegang ponsel.

Sudah tiga hari ponselnya menghilang, seluru isi rumah sudah dia cek. Namun, ponselnya tak juga ketemu. Rara juga sudah berusaha menghubungi nomornya dengan telepon rumah, tapi tak aktif lagi.

Rara takut. Meski ponselnya bukan barang mahal, tapi dia sangat menyayangi benda tersebut.

Menghela napas kecewa, Rara menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Habis sudah, setelah ini dia tidak akan mendapat ponsel lagi.

"Rara."

Panggilan dari Darka membuat Rara terlonjak kaget. Dia mendongak, menatap Darka yang menatapnya tajam.

"Saya, Tuan." Rara menunduk, tidak kuasa membalas tatapan Darka.

Akhir-akhir ini emosi Darka juga tak terkendali, dia selalu marah tiap waktu. Membuat Rara kebingungan, apa lagi Darka tidak pernah mendatangi kamarnya atau dia yang di minta ke kamar lelaki itu.

Rara lega, tapi dari lubuk hatinya yang terdalam dia merasa sedih. Berpikir jika dia tidak diinginkan lagi, itu sangat menyiksa.

"Kamu melamun?" Darka mendelik, membuat Rara langsung menggeleng.

"Maaf, Tuan."

"Sudahlah. Cepat turun."

Rara mengangguk, dia bergegas membuka mobil dan turun. Mereka berjalan bersama menuju kelas Disha.

"Papa cokelat," kata Disha. Mereka baru saja meninggalkan sekolah lima belas menit lalu, dan Disha sudah sejak masuk mobil tadi terus meminta makanan tersebut.

"Tidak bisa sayang, kamu sudah mendapatkannya dua hari lalu."

"Dua hari lalu kan es krim, sekarang aku mau cokelat, Papa."

Rara menepuk-nepuk punggung Disha yang mulai merengek.

Melihat Papanya menggeleng, gadis kecil itu merajuk. Dia menatap Rara dengan mata berkaca. "Rara aku mau es krim."

Menghela napas panjang, Darka menyerah kalah. Dia menghentikan mobil di parkiran mini market.
"Turun lah," kata Darka tersenyum tipis melihat anaknya bersorak gembira.

Rara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang