3

352 80 29
                                    

Chanyeol POV.

.
.
.

Ini adalah hari ketiga dimana kejadian aku yang menemukan anak alien-yah, aku memutuskan untuk menyebutnya begitu-di bukit belakang sekolah.

Sementara aku sudah kembali beraktifitas seperti umumnya. Monoton.

Pagi hari aku akan sekolah, pulang sekolah aku akan menjemput Si Kembar Kim. Ah, Keluarga Kim adalah tetangga sebelah, mereka adalah keluarga kecil yang manis. Keluarga Kim yang minta dipanggil Paman Junmyeon dan Bibi Johyun. Mereka memiliki dua malaikat kembar yang lucu dan jahil bernama Jongdae dan Jongin.

Jongdae yang suaranya nyaring, Si Jongin yang overmove. Saat Jongdae bernyanyi, maka adiknya akan menari menandak-nandak mengitari kakaknya.

Dua anak sepuluh tahun itu mengingatkanku pada anak alien itu. Melihat dari postur tubuh yang serupa, dan melihat babyface karena mata besar bulatnya, mungkinkah ia seumuran dengan Si Kembar Kim?

Tapi aku masih tak habis pikir. Jika benar ia anak alien, ia dikasih makan apa oleh orangtua-nya disana? Mungkinkah ia diberi makan komet? Atau meteor? Atau benda luar angakasa lainnya?

Soalnya aku berpikir ulang bagaimana tubuhnya bisa seberat itu ketika aku membopongnya. Kuakui memang anak alien itu gempal berisi.

Bahkan kalau sempat, aku berencana menggenggam pipinya yang benar-benar gembul itu.

Dan lagi, apakah cairan biru yang keluar dari kulitnya itu adalah darah? Aku mencurigainya karena ia bukan manusia, maka darahnya tidak berwarna merah, melainkan biru pekat dan bertabur gliter-maksudku darahnya begitu berkilau.

Alih-alih takut, aku malah takjub melihat darahnya yang begitu terlihat elegan dan mewah.

Pikiranku kembali membumi saat aku tersandung batu, aku menendangnya agar menepi dan kembali fokus berjalan menuju sekolah Si Kembar Kim.

Aku bisa mengenali dua anak yang sedang saling melompati punggung satu sama lain didepan gerbang sekolah mereka. Sesaat kemudian aku menegur mereka yang berlari menghampiriku.

"Channie, Hyung!" teriak mereka kompak.

Kedua tanganku digenggam oleh dua anak ini begitu eratnya, seakan menuntun orang buta. Kemudian aku mengingat sesuatu yang bergemerisik di saku celanaku.

"Tunggu sebentar," aku menarik tanganku dari genggaman keduanya dan merogoh saku. Mereka memekik heboh saat aku mengulurkan dua bungkus permen karamel.

Mereka menyambarnya dengan rebutan. Lalu aku terkekeh ketika melihat keduanya saling menggapai permen dan berusaha saling rebut.

Aku mengambil alih tengkuk dua setan kecil ini dan menuntun mereka mencapai halte bus terdekat.

Baik Jongdae atau Jongin, tidak ada yang bertingkah lagi. Bahkan bicara pun enggan, kenapa?

Karena itulah Kim Bersaudara. Jika mulutnya sudah tersumpal makanan maka mereka akan menjelma menjadi anak penurut yang tenang.

Maka dari itu aku memiliki stok permen dalam tas-ku, bukan karena aku yang menyukainya, melainkan untuk tameng harianku saat menjemput Si Kembar Kim.

Aku berusaha mencubit atau menepuk tonjolan permen yang mereka sembunyikan di pipi mereka.

Meskipun termasuk ideal, pipi mereka tidak menggembung seperti milik anak alien itu. Pipi Jongdae dan Kai tergolong standar meski tulang pipi mereka sedikit tinggi.

Jadi alasan kenapa aku begitu terobsesi pada pipi anak alien itu, karena tidak ada anak segembul dia di sekitar rumahku. Sedangkan aku adalah tipe orang yang mudah gemeletuk saat gemas.

Kami bertiga turun dari bus dan melangkah menuju jalan pintas menuju rumah. Ditengah jalan, rupanya permen mereka telah habis. Dan kau tahu apa yang terjadi selanjutnya.

"Jongin kau curang! Aku kan batu, kau gunting. Harusnya aku yang menginjakmu. Kemarikan kakimu!"

"Em. Em." Jongin menggeleng lalu berlari mengitariku mencari perlindungan, sedang aku lanjut berjalan.

Sesaat Jongdae mendapatkan adiknya, ia menginjak sepatu putih adiknya yang langsung berjongkok menggenggam kakinya yang tampak kesakitan sekali.

Didepan gerbang rumah Keluarga Kim, aku menoleh dan rupanya Si Kembar tidak menyadari kalau kami sudah sampai di depan rumahnya, karena keduanya lanjut berjalan menuju gerbang rumahku disebelah rumah mereka, masih dengan permainan batu-gunting-kertas-injak mereka.

"Oy!" tegurku.

Si Kembar mendongak dan memutar kepala ke segala arah demi mencariku. Kemudian aku mendengar suara derap langkah kecil mendekat.

Aku sempat menangkap betapa sepatu putih mereka penuh dengan motif alas sepatu satu sama lain. Sesaat pintu gerbang terbuka, Bibi Johyun berdiri diambangnya. Sedangkan Kim Bersaudara berebut masuk melewati ibunya.

"Terimakasih, Chanyeolie. Mau mampir?" tawarnya setiap hari.

"Tidak, Bibi. Mungkin besok"

"Dan besok kau akan berkata 'mungkin besok' lagi kan?" godanya sambil terkekeh. Aku ikut terkekeh dan pamit undur diri.

Membuka gerbang rumahku sendiri dan melepas sepatuku, menentengnya masuk dan mengucap sapaan pulang. Eomma menyambutku dengan sapa balasannya.

Menitahku untuk berganti baju dan membersihkan diri.

Aku menaiki anak tangga, masuk ke kamar dan mulai mengerjakan perintah Eomma. Setelahnya aku berbaring dan mencoba tidur-tidur ayam, tapi ternyata aku kecolongan dan terbangun saat Eomma mengetuk pintu kamarku untuk makan malam.

Aku bangkit lalu menghampiri jendela untuk menutupnya. Memasuki kamar mandi untuk membasuh wajahku dan turun ke ruang makan.

Appa dan Eomma sudah berhadapan di meja makan, sedangkan Minseok Hyung masih berkutat dengan cangkir jahe didepan pantry dapur.

Kami makan diselingi tawa seperti biasa, beberapa saat setelah kami membahas anak alien yang sepakat untuk menyembunyikan kejadian itu ada pihak berwajib karena-toh, dia sudah pergi. -Meskipun ia menitip benda pusaka pada kami.

Eomma akhirnya sibuk dengan sisa piring kotor dan Appa disampingku membuka lembaran majalah interior, sedangkan Minseok Hyung mengeram di ruang prakteknya entah mengerjakan apa. Aku sendiri asyik menggenggam remote TV dan mengganti channel-nya tanpa niatan memperhatikan sama sekali.

Tapi setelah mendapati kata 'Meteor', maka jariku beralih ke tombol volume untuk mengeraskan suara TV.

"-mendapatkan area sisa radiasi di jurang sebuah bukit di pusat kota. Tim hanya menemukan kubangan berbentuk kawah dengan diameter empat meter"

"Itu kawah yang terbentuk karena pendaratan anak alien yang kau temukan, Chan?"

Appa berdesis tepat di telingaku, membuatku sempat terperanjat dan mengangguk mantap. Itulah tempat dimana aku menemukan anak alien sedang merangkak keluar dari kapsulnya yang hancur.

Hanya saja, yang bisa ia tangkap dari layar TV, tidak ada kekecauan seperti saat pertama aku lihat saat itu.

Yang terlihat hanya kawah lebar tanpa serpihan apapun. Apakah Tim telah membersihkannya dan menyimpan barang bukti untuk diteliti?

Ataukah, anak alien itu telah membereskan kekacauan sisa kapsul hancurnya itu?

Mataku mengerling toples berisi 'benda' titipan anak alien itu yang Eomma taruh di kabinet dapur. Berisisian dengan toples rempah-rempah miliknya.

Kapan anak alien itu kembali?

Alih-alih khawatir karena didatangi alien, aku justru menantinya. Dengan niat aku akan meremat pipi gembulnya sepenuh hati sebelum membiarkannya pergi.

Setidaknya aku harus sempat mengenggam pipinya dulu.

.
.
.

Tbc.

~MBS~
1020words.
Publish 21.Dec.19 

[3] My Baby StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang