8

310 55 4
                                    

Chanyeol POV.

.
.
.

"Jadi Wu Yifan yang itu benar sepupumu" tanyaku. Kriss menyeruput gelas kopinya lalu mengangguk. lalu menambahkan,

"Iya Chan, kau mau bertanya lagi setelah ini?" terlihat seperti jengah. "Dia itu anak kakak ayahku. Setahuku dia besar di Kanada, tapi memang kudengar dia bekerja disini. Tanpa kutahu ternyata dia rekan Minseok Hyung."

Hah, sekarang aku mengerti kenapa Wu Yifan sedikit mirip dengan Kriss. Bahkan memiliki marga yang sama.

"Tapi sebentar, Minseok Hyung itu dokter kan?" aku mengangguk. "Tapi kau tadi bilang Minseok Hyung juga bekerja di Laboratorium Antariksa." aku mengangguk lagi. "Jadi Yifan itu rekan kerja Minseok Hyung yang mana? Rekan di Kedokteran atau di Laboratorium?"

"Sepertinya rekan Laboratorium. Kenapa memangnya?" Kriss mengangkat bahunya sembari mengangkat gelas kopinya lagi. Lalu ia menunjuk jendela yang sepertinya ia lebih menujuk Minseok Hyung yang sedang berkebun.

"Ilmuan identik dengan perilaku sayangnya terhadap alam kan?" Aku mengangguk. Lalu apa hubunganya dengan Wu Yifan? "Sedangkan yang kutahu Yifan bukan orang macam itu, dia bahkan sengaja menghacurkan kebun bunga Ibunya sewaktu pertama mendapat izin mengemudinya. Minseok Hyung akan menangis melihatnya Chan, bunga itu luluh lantak dilindas begitu saja."

Kriss memalingkan wajahnya dari jendela kamarku, lalu melirik layar ponselnya yang gelap.

"Mengapa Luhan dan Tao belum juga datang?" gumamnya. Kriss seperti bertanya pada dirinya sendiri, jadi aku tidak perlu repot menjawanya, toh aku juga tidak tahu mengapa dua orang itu belum muncul.

"Aku boleh minta Coke, Chan? Aku sempat melirik kulkasmu dan kau memilikinya." ah, dia suka sekali mengintip isi kulkas orang.

"Kau yakin ingin minum Coke bersama kopi?" Kriss memang terkadang begitu, aku sering dibuat bingung dengan seleranya yang aneh. "Kalau Minseok Hyung tahu kau akan dimarahi." lalu baru ia akan menyerah meminta Coke.

.

Berganti hari, aku makin merindukan sosok Kyungsoo. Ah, anak manis itu apa kabar ya?

Kupandangi langit malam dari atas atap kamarku, yah aku memang segila itu. Sejak dulu, aku memang sudah gila, kurasa.

Teropong-teropong canggih milikku berdiri diam di pojok sana. Terlindung dari angin malam yang sedikit liar kali ini. Tapi aku tetap berbaring telentang, berbantal tanganku sendiri sembari mencoba membuat-buat pola rasi bintangku sendiri-sudahkah aku bilang bahwa mungkin aku gila?

Berharap besar aku menemukan kilauan mata bulat Kyungsoo dintara bintang-bintang.

Ternyata aku memang merindukannya. Terlepas dari tingkah polosnya, dia benar-benar adik idaman.

Kira-kira sedang apa dia disana sekarang. Bersama paman cantik(menurut Appa)nya, semoga dia baik.

Alih-alih berharap ia kembali secepatnya, aku malah ingin memperingatkannya agar kembali besok-besok saja. Masih teringat saja perkataan Si Sepupu Kriss- Wu Yifan, yang ternyata rekan Min Hyung.

Pada akhirnya aku bisa mengamankan benda titipan Kyungsoo dan pamannya- Pusaka itu, sebelum Wu Yifan berhasil menerobos Min Hyung.

Kasihan sekali Hyung-ku sewaktu itu. Bayangkan tubuh kecilnya menahan badan bongsor dan menjulang Si Wu Yifan, Ia sempat terseret-seret ketika Manusia tak punya akhlak itu hampir memasuki ruang kerjanya.

Benar kata Kriss, tak butuh waktu lama untuk orang memutuskan untuk menjauh bahkan membencinya, aku bahkan menyumpahinya (beruntung hanya aku yang dengar) diawal pertemuan kami.

Aku malah tidak bisa membayangkan tingkat kesabaran Min Hyung yang harus bekerja berjam-jam bahkan berhari-hari bersama orang macam itu, mengerikan.

"Chan?"

Demi Sabuk Asteroid, aku sedang membayangkan seringai Wu Yifan saat seseorang menyebut namaku dari kegelapan.

"Ah, Hyung. Kau mengagetkanku," sesaat setelah aku bangkit dari rebahanku, Min Hyung memutuskan untuk duduk disampingku.

"Kau saja yang mudah terkejut." elaknya, "Kau sedang apa disini sendirian, kenapa teman-temanmu rapih sekali berdiri disana?" Min Hyun menganggukkan dagunya pada pojokan hartaku. Teropong.

Yah aku hampir tidak pernah membiarkan mereka berdiri diam selagi aku ada disini, hanya kali ini entah kenapa aku ingin melihat bintang dengan mata telanjang.

"Kalau kau bosan, aku tahu tempat apa yang cocok untuk mereka" lalu Min Hyung menatapku jahil, "Pelelangan."

"Kau tahu Hyung, itu saran paling jahat yang pernah kau katakan padaku." Tapi Min Hyung hanya terkekeh.

Detik berikutnya aku baru menyadari keganjilan yang kurasa sedari Min Hyung kemari. Ini adalah Hyung-ku satu-satunya, tersibuk di dunia, kenapa bisa tersasar di atap ini?

"Min Hyung tidak bekerja?"

"Kau tidak sedang mengusir Abangmu kan Channie?"

Panggilan itu, terakhir aku megingatnya-pun kalau tidak salah--saat Min Hyung mendapat gelar agungnya sebagai dokter, memenggilku demikian karena aku memberinya ucapan selamat.

"Hyung sudah lama sekali tidak memanggilku begitu, sekarang terdengar menggelikan setelah keluar dari mulut Min Hyung, ahaha."

Aku sudah tertawa manis--menurutku, alih-alih tertawa, Min Hyung malah tediam. Rupanya tawaku kurang menular. Detik berikutnya aku baru menyadari bahwa perkataanku barusan menyakitinya--meskipun tidak kumaksudkan begitu. Tapi tetap saja terdengar cukup sarkasme.

"Maaf Hyung, aku tidak-"

"Kau benar, aku terlalu sibuk. Aku bahkan baru menyadari kalau kau lebih tinggi dariku," Tiba-tiba Min Hyung menatap kaki kami yang sama-sama menjulur kedepan. Mendengar--melihatnya membuatku ingin melipat lututku, untuk sekedar membesarkan hatinya.

"Kau masih sesuka itu dengan susu, Chan?" tanyanya, dengan wibawa aku menggeleng. Lalu aku mengaku bahwa dibanding susu, aku lebih suka minum coke. Berikutnya ia melarangku meminumnya bersama kopi--untuk yang kesekian kali-- dan aku lagi-lagi mengiyakan tanpa berusaha mengingatkan bahwa ia telah mengatakannya berulang kali.

Ayolah, Min Hyung hanya berusaha menjadi kakak yang perhatian.

Entah sudah berapa lama aku berbincang dengan Min Hyung, semakin larut, aku semakin tidak fokus mendengarkan penjelasannya tentang kandungan buruk makanan kesukaanku.

Aku sedang berada diambang batas antara terjaga, saat Min Hyung menepuk kakiku dengan keras. Kalau kuceritakan betapa kagetnya aku saat itu, kau tidak akan mengerti. Dan saat kau berada diposisiku saat ini, Abangmu sedang tengadah menatap langit, lalu menoleh padamu.

Melotot dengan mata kucingnya--maksudku mata Min Hyung mirip mata kucing--kearahmu, seakan tumbuh tanduk di dagumu.

Beruntung ia segera tengadah kembali ke langit, setengah berteriak untuk meyadarkanku dari sisa kantuk.

Aku ikut tengadah, menyaksikan sebuah bola cahaya sedikit lebih besar dari bola tenis, turun dari langit ke-

Demi Awan Oort.

-kearah kami.

.
.
.

Tbc..

MBS.
970words.
25.06.20

Comment ;)



[3] My Baby StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang