Chapter 04

53 25 1
                                    

"Dek, gih cerita!" pinta Arfan ketika sampai di garasi rumah. Tangannya sibuk membuka helm dari kepalanya.

"Ish Bang Arfan! Ceritanya ntar aja, aku makan dulu. Assalamu'alaikum," ucapnya dan berlalu setelah meletakkan helm pada salah satu spion.

Lelaki yang kini duduk di bangku perkuliahan itu menggeleng, memang adiknya tidak bisa diganggu untuk urusan perut. Ia pun menyusul masuk.

***

"Gitu, Bang. Btw, aku gak dosa kan? Kan berduaanya gak ada unsur kesengajaan," pungkasnya setelah menceritakan seluruhnya.

Alvin dan Puspa--mamanya-- manggut-manggut.

"Iya gak apa-apa, tapi lain kali usahakan jangan gitu lagi, yah," ucap Puspa, ia tampak cantik dengan hijab lebar birunya.

"Bener tu, Dek. kalo si Bagas-Bagas itu tetap kayak gitu lapor ke satpam aja." Arfan menimpali.

"Iya, Ma, Bang. Kalian udah salat Ashar?"

"Udah dong," balas Arfan dan Puspa bersamaan.

"Ya udah, aku salat dulu deh. Assalamu'alaikum."

****

Di lain sisi, seorang remaja sedang duduk di halte, seragam SMA masih melekat di tubuhnya. Kepalanya menunduk lesu, sesekali ia menguap.

"Ngantuk bet gua," ucapnya sembari mengusap wajahnya. Netra hitam kelam itu menatap jalanan sepi, pikirannya tidak di situ.

Ia mungkin tidak akan pulang ke mana pun malam ini, tidak pada mama-papa dan juga ayah-ibunya. Ia sangat bosan mendengar mama dan papanya bertengkar setiap hari, dan sungkan untuk menemui ayah dan ibu angkatnya karena terlalu baik padanya. Alasannya bersekolah di SMA Baru ini pun karena permintaan ayah dan ibunya, sedangkan orang tua kandungnya sama sekali tidak peduli.

Jemari merogoh saku baju, di sana terdapat uang senilai dua puluh ribu yang diberikan ayahnya pagi tadi. Ia beranjak mencari warung makan, kemarin sore terakhir kali mulutnya disuapi nasi.

"Mbak, nasi ayamnya seporsi, ya," teriaknya kemudian duduk pada bangku panjang yang kosong. Warung ini terbilang yang paling dekat dari sekolah.

Tak lama, pesanan pun datang. Ia menikmatinya dengan hikmad, meski tak seenak masakan Ibunya.

Suapan terakhir telah lumat. Ia membayar dan berlalu pergi, tak tentu arah. Jalanan teramat ramai oleh riuh suara mesin kendaraan yang berlalu lalang. Setelah cukup jauh berjalan tak tentu arah, ia memutuskan untuk kembali ke halte yang berada di depan pagar sekolah. Ia akan bermalam di sana.

Keesokan paginya, jam masih menunjukkan pukul 05.32 tapi  satpam yang bertugas menjaga sekolah telah datang. Ia terlihat gagah dengan seragam kebesarannya. Tangannya lincah membuka gembok pada gerbang, netra lelaki baya itu menjelejah sekitar. Hingga tertuju pada halte, seseorang sedang berbaring di sana. Ia pun menghampiri.

Seorang lelaki dengan penampilan semrawut, rambutnya acak-acakan seperti tidak bersisir selama seminggu. Ia tidur dengan posisi miring, name tag-nya jelas terlihat bertuliskan Bagas Adrian.

"Nak, bangun. Kenapa tidur di sini?" ucap Pak Satpam, jemarinya menepuk-nepuk pipi anak muda di hadapannya.

"Eumm ...," lenguh Bagas. Ia bangkit dan duduk menghadap Pak Satpam. Ia belum sadar benar. "Kenapa, Pak?"

"Kamu kenapa tidur di sini? Semalam gak pulang?" ulang Pak Satpam.

"Hmm ... gitulah, Pak."

"Yaudah, kamu mandi aja sana. Nanti kalo mau nyisir, ke sini aja. Kamu berantakan banget," ujarnya sembari menepuk bahu lelaki itu.

Bagas mengiyakan lalu beranjak menuju kamar mandi milik guru, di kantor masih begitu sepi, suara air membentur lantai keramik mendominasi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Putri Malu (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang