* * *
"Semoga amal kebaikan beliau diterima di sisi Tuhan."
"Arini dan Kamal, bersabar ya? Ini jalan terbaik untuk ibu kalian."
"Ibu kalian orang baik. Semoga kalian mudah mengikhlaskan,"
Kira-kira kalimat seperti itulah yang selalu didengar oleh Arini dan Kamal ketika para pelayat mengutarakan ucapan belasungkawa saat pemakaman Ibunya di pagi hari ini. Mereka berdua hanya mampu mengangguk dengan memasang senyum simpul.
Pemakaman pagi ini berjalan lancar dan kondusif. Arini tak lagi menangis sesenggukan karena Kamal dan Arkan berhasil menguatkan dan menabahkan hatinya. Arini dan Kamal pun tak lagi menjaga jarak dengan ayah mereka, meski masih terasa canggung diantara mereka.
Seusai pemakaman, mereka melanjutkan persiapan untuk pindah ke Jogja sekaligus menata rumah untuk keperluan penjualan rumah. Atas bantuan Arkan, semuanya selesai dengan mudah. Koper dan beberapa perabotan keperluan pindah rumah sudah tertata rapi.
Arini sebenarnya cukup bingung dengan furniture rumah yang tidak bisa ia angkut, hendak diapakan barang itu. Namun berkat usulan Arkan yang mengatakan rumah itu dijual beserta isi perabotannya, Arini sudah tak ambil pusing.
Ia menatap jam dinding yang terpasang di rumahnya. Sudah jam 2 siang, batin Arini. Rencananya, ia dan adiknya akan berangkat ke Jogja sore ini juga. Tapi Arini belum sempat membeli tiket pesawat untuk keberangkatannya. Ia juga lupa mengabari pihak keluarga Jogja tentang kedatangannya. Ia mulai mengacak rambutnya, sepertinya ia mulai frustasi.
Oh ya! Arini juga lupa jika ia belum menyerahkan surat pengunduran diri untuk tempat kerjanya sekarang. Padahal sore ini ia akan berangkat. Ia memukul kepalanya pelan, bagaimana ia bisa seceroboh ini?
Arkan tertawa melihat tingkah Arini yang tampak seperti orang kepusingan. Mukanya terlihat sangat kusut.
"Hei, apa lagi yang kurang?" tanya Arkan.
Arini merengut. "Bagaimana ini? Aku belum beli tiket pesawat dan belum membuat surat pengunduran diri. Aku pusing sekali,"
Kamal geleng-geleng kepala, biasanya Arini sangat bijaksana dalam mengambil keputusan. Tapi jika sedang panik, maka segala urusannya akan bubar jalan. Kamal menjulurkan lidahnya, membuat Arini semakin memasang wajah cemberut. Arkan tertawa melihat keusilan Kamal.
Arkan lalu menatap Arini. "Ehm, kamu lupa kepala Divisimu siapa?"
Arini mengernyitkan keningnya, mulai berpikir keras. Memangnya siapa kepala divisiku?
Seketika Arini membelalakkan matanya saat sudah mengingat siapa kepala divisinya.
"Astaga Arkan! Ya ampun, maaf maaf. Duh, kok bisa lupa sih?!" Arini merutuki diri sendiri.
Arkan dan Kamal terkekeh bersama menyimak tingkah Arini. "Makanya, gak usah panik." nasihat Kamal yang disambut jitakan ringan dari Arini.
"Udah, gausah bingung. Surat pengunduran diri nya udah aku bikinin. Tiket pesawat nya juga udah aku beliin," ucap Arkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arini's Story : Jogjakarta
Fanfiction▶ bagaimana kehidupan Arini dan Kamal setelah ibu tercinta mereka pergi untuk selama-lamanya? ft yoongi, wendy, hueningkai, yuna #FanfictionLokal © snowablue, september 2019