xiii. | hanya ingin bersandar

362 51 19
                                    

Setelah puas menikmati jajanan tradisional khas Jogja di sekitar alun-alun keraton Hamengkubuwono sembari menyaksikan pemandangan matahari terbenam disana, kini Arini, Arkan, Kamal, dan Yuna bergegas pulang karena langit mulai menggelap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah puas menikmati jajanan tradisional khas Jogja di sekitar alun-alun keraton Hamengkubuwono sembari menyaksikan pemandangan matahari terbenam disana, kini Arini, Arkan, Kamal, dan Yuna bergegas pulang karena langit mulai menggelap. Mereka beriringan melintasi jalanan dengan Arkan menggoncengi Arini dan Kamal menggoncengi Yuna.

Sesampainya di rumah, mereka langsung disambut oleh Bulan yang sudah berdiri di gerbang rumah dan dengan senang hati dirinya membukakan pintu gerbangnya untuk mereka.

"Sugeng rawuh mas Arkan," sapa Bulan pada Arkan yang baru saja turun dari motor. (selamat datang mas Arkan)

Lelaki itu cukup terkejut karena saudara sepupu Arini itu ternyata sudah mengetahui namanya.

"Eh, iya makasih." jawab Arkan sekenanya.

Bulan pun segera mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk, eyang putri sampun ngentosi."

Arini menimpali. "Nenek udah nungguin," ucapnya menerjemahkan pada Arkan karena perempuan itu yakin jika lelaki itu tidak tahu artinya.

Mereka berempat pun akhirnya melangkah masuk menuju kediaman rumah Arini dan Kamal, nenek yang sedang duduk di sofanya pun beranjak bangkit kala melihat tamu yang ia nantikan sudah datang.

"Monggo pinarak, Arkan, Yuna. Ayo langsung ke ruang makan saja, kita makan malam bersama." ujar nenek.

Sesuai ajakan nenek, mereka ramai-ramai menuju ruang makan dan duduk di kursi masing-masing sembari memperhatikan beberapa makanan yang telah siap tersaji.

"Yang bikin gudegnya ini mbak Arini lho, mas Arkan." Bulan memberitahu.

Arkan tersenyum lebar, lantas menatap Arini dengan seringaian jahil. "Wah, udah bisa jadi ibu rumah tangga yang baik ini," godanya.

Perempuan itu menyikut lengan Arkan, kesal karena dijahili begitu. "Diem ih."

Yuna hanya tersenyum kikuk. "Saya nggak merepotkan 'kan, kalau makan disini?" tanya perempuan itu canggung.

Kamal meraih piring di meja, lalu ia mengambilkan nasi untuk perempuan itu dan meletakkan piring itu di hadapan Yuna. "Udah, santai aja. Biasanya aja kamu percaya diri, kenapa sekarang jadi malu-malu?"

"Ih, 'kan beda. Ini makannya bareng keluarga kamu, aku harus tetep jaga sopan santun dong." kata Yuna sambil mengerucutkan bibirnya. Tapi tak elak juga perempuan itu menerima piring berisi nasi yang diberikan Kamal untuknya.

Nenek hanya tersenyum. "Nduk, kalau sudah dipersilahkan itu berarti tidak merepotkan. Ayo dimakan, tidak usah malu-malu."

Yuna akhirnya tersenyum lebar, kemudian tangannya mulai mengambil beberapa lauk makanan yang sudah tersaji di meja. "Maturnuwun, nek."

"Mbak Yuna masih inget aku ndak? Bulan Nur Kahyangan, adek kelasmu di SMA," tanya Bulan tiba-tiba.

Yuna tampak mengernyitkan keningnya, berusaha mengingat. Lalu ia mengangguk riang. "Ohhh, inget dong. Anak PMR 'kan? Ya ampun, nggak nyangka kita ketemu lagi. Ternyata kamu sepupunya Kamal. Sekarang kamu kelas berapa?"

Arini's Story : JogjakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang