♪Dix♪

98 24 5
                                    

Langit London yang kelam telah berganti terang. Di atas tempat tidur, Arioka Daiki menyibak selimut yang membungkus tubuhnya lalu beranjak duduk di dekat jendela. Sejujurnya pemuda itu tidak bisa tidur dengan nyenyak sejak beberapa malam ini. Bahkan Ia sendiri bingung karena terlalu banyak hal yang berputar di kepalanya.

Ada apa dengan dunia yang sedang Ia tinggali? Bahkan pemuda sepertinya juga bisa diperkosa bahkan ada nyawa yang memilih untuk hidup dan berkembang di dalam dirinya. Anugrah? Benarkah semua itu adalah anugrah atau justru sebuah aib yang harus dia tanggung seumur hidupnya?

Daiki ingin sekali membuang benih itu. Ia tidak siap menjadi orang tua saat ini. Tetapi nyalinya menjadi ciut saat memikirkan kemungkinan aborsi. Terlintas dalam kepalanya tentang dirinya yang ditelantarkan dan berakhir di panti asuhan. Memikirkan membuang janin di perutnya, Daiki merasa menjadi manusia yang lebih buruk dibanding orang tuanya sendiri.

Tetapi pikirannya menjadi kalut sendiri.

Bagaimana dia akan menjalani kehidupannya setelah ini? Menghidupi dirinya sendiri saja dia harus kerja keras banting tulang. Sekarang memikirkan ada satu nyawa lagi yang harus dia tanggung kedepannya, sanggupkah ia?

Mengapa semua terasa begitu rumit? Keputusan apa yang seharusnya dia ambil? Mana yang lebih baik?

"Arioka-kun?"

Pemuda itu pun ditarik dari lamunan tatkala suara Kitayama terdengar memanggil dari balik pintu kamarnya diiringi ketukan lembut di pintu kamar.

Daiki berjalan untuk membuka pintu dan mendapati si pemilik suara masih ada di sana.

"Kau sudah bangun ternyata. Aku sudah membuat sarapan, ingin makan bersama?" tanya pria itu.

Daiki mengangguk, "Aku akan turun sebentar lagi."

Kitayama membiarkan Daiki untuk menyegarkan diri sesaat dan kembali turun ke lantai bawah. Pemuda itu turun tepat saat Kitayama meletakkan segelas susu hangat di atas meja.

"Ayo kemari. Maaf hanya penekuk sederhana, aku lupa belanja semalam."

"Ini saja sudah cukup, Kitayama-san. Tidak perlu terlalu repot."

"Sama sekali tidak repot."

Keduanya mengambil tempat untuk menikmati sarapannya. Daiki baru saja menyuap sepotong penekuk ke dalam mulutnya dan langsung tersenyum, benar-benar menikmati. Seakan penekuk itu adalah makanan terlezat yang selama ini Ia cicipi.

"Makan pelan-pelan saja." Ujar Kitayama sambil terkekeh.

=*=

"Hoeks..."

Yaotome Hikaru merasa tidak sanggup lagi melihat tuan mudanya yang terus-terusan muntah. Dia sudah seperti itu sejak beberapa hari yang lalu.

Hikaru sanksi jika ada makanan yang masuk ke perut tuan mudanya karena napsu makan pemuda itu menjadi terganggung. Meski dokter mengatakan tidak ada masalah yang berarti dengan tuan mudanya satu ini, tetapi muntah-muntahnya tidak kunjung berhenti.

Bahkan kali ini hanya cairan bening saja yang dikeluarkannya.

"Tuan muda," panggil Hikaru dari balik pintu toilet.

Terdengar suara toilet yang disiram sebelum sosok pucat Takaki Yuya keluar dari sana dan langsung menghempaskan diri di atas sofa. Tepat setelah itu bibi Yonehara, pelayan setia keluarga Takaki dating sambil membawa nampan berisikan teh. Hikaru menyuruh agar wanita itu meletakkan saja di atas meja.

Sudah seminggu Takaki Yuya kembali ke rumah utama dan tinggal di sana atas permintaan ayahnya. Pria itu meminta putranya untuk mulai membantu di perusahaan, sementara pria itu sendiri sedang mempersiapkan diri untuk pemilihan Kepala Daerah. Bersikap keras kepala kali ini tidak ada gunanya, karena sang ayah langsung membawa paksa putranya dan mengurungnya di rumah.

DROWNINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang