BAB 3

344 29 4
                                    

Aku berlari mengejar gadis manis itu. Sungguh dia itu sangat menggemaskan. Saking gemasnya aku ingin terus menciumnya, sampai-sampai dia lari dariku karena merasakan geli diwajahnya.

Haha... Sungguh aku sangat suka dengan dia.

"Bunda... Henti, Iyyah apek." (Bunda... Berhenti, Fiyyah capek) Katanya dengan berhenti di bawah pohon dan nafas yang menderu karena lelah.

Aku tersenyum lalu mengangguk, "sini duduk bareng bunda."

Ya, sekarang aku sendiri menyebut diriku dengan sebutan 'bunda'. Aku hanya menuruti hati nurani ku, jika itu membuat hatiku bahagia lalu kenapa tidak di lakukan? Di samping itu juga aku membuat gadis kecil ini bahagia.

"Ndak au, ajah Iyyah geli." (Tidak mau, wajah Fiyyah geli)

Jawabnya dengan mengerucutkan bibir mungilnya itu. Sungguh aku semakin gemas jika dia melakukan hal itu.

Aku mendekati dia yang tak jauh dariku. "Ya udah, bunda pulang dulu deh. Fiyyahnya juga gak mau sama bunda." Aku menjawab dengan mimik wajah sedikit sedih.

"Angan, Iyyah au ama Bunda." (Jangan, Fiyyah mau sama bunda)

Setelah mengatakan hal itu, Fiyyah langsung memeluk leherku dengan erat. Dan...

Cup...

Dia mencium kedua pipiku. "Angan pelgi dali Fiyyah, kak Fahad ama yah, ya bunda?" (Jangan pergi dari Fiyyah, kak Fahad dan ayah, ya bunda)

Apa terhenyak, jadi laki-laki tadi sudah mempunyai dua anak. Tapi dia masih terlihat sangat mudah. Mungkin jika orang tidak mengetahui akan mengira bahwa laki-laki itu belum mempunyai keluarga. Sungguh diluar dugaan.

Aku menuntun Fiyyah untuk duduk di kursi taman kantor ini.

"Bunda beli minum disitu dulu ya," aku menunjukkan arah yang ku maksud, "Fiyyah jangan kemana-mana oke. Nanti Ayah marah sama Fiyyah, terus bunda sedih kalau Fiyyah kemana-mana. Gadis manis faham?"

Lagi-lagi dia mengangguk, "ham." (Faham)

Aku tersenyum, "anak yang pintar."

Setelah mengatakan kalimat tersebut, aku segera membelikan dia air mineral karena cuacanya hari ini lumayan panas untuk ukuran anak kecil.

Ku lihat dia dari jarak yang tidak terlalu jauh. Wajah yang cantik, pipi chubby menambah keimutannya, dan mata yang bulat serta hidung yang kecil. Sangat sempurna untuk ukuran gadis kecil seperti dia. Jika ku lihat dari wajahnya, bibirnya yang tipis dan bentuknya yang indah mirip seperti ayahnya yang belum ku ketahui namanya siapa. Mungkin selain bibir, dia meniru wajah ibunya. Sungguh aku sangat tersentuh dengan gadis manis ini. Tapi aku juga kasihan dengannya, dia masih kecil, tapi sudah ditinggal jauh oleh ibunya. Apakah dia sudah pernah merasakan kasih sayang ibunya? Entahlah, tapi bagaimanapun dia, pasti Syafiyyah bahagia memiliki ibu yang mau berjuang. Sementara aku?

"Mbak, ini minumnya dan jajannya." Aku langsung mengedipkan mata karena terkejut.

"Berapa mbak semuanya?"

"24.500 mbak." Aku menganggukkan kepala, dan langsung ku sodorkan selembar uang 20.000 dan selembar uang 10.000.

"Sisanya ambil saja buat mbak. Soalnya saya lagi bahagia. Kalau gitu saya permisi ya, mbak. Terimakasih." Dia tersenyum dan mengangguk.

Aku segera berlari ke arah gadis manis ku ini, dia langsung tersenyum ketika melihatku datang dengan membawa sebungkus cemilan untuknya.

"Bunda!" Panggilnya riang dan langsung lari ke arahku untuk di gendong.

Anugerah TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang