Aku turun dari mobil hitam milik Bapak kutub. Saat ku baru menginjakkan kakiku diteras rumahnya, Syafiyyah sudah menarikku kedalam rumah dan langsung menuju ke sebuah kamar yang ada di atas. Dalam pintu kamar tersebut tertuliskan 'Assalamu'alaikum Fahad', aku tersenyum dan menatap Syafiyyah yang sudah menatapku.
"Kamar kak Fahad?" Dia mengangguk tersenyum.
Syafiyyah membuka pintu kamar tersebut dan langsung berlari memeluk kakaknya.
Hatiku bergetar melihat kondisi anak laki-laki yang merupakan kakak dari Syafiyyah. Wajahnya sangat pucat, badannya kurus dan dia berada di atas kursi roda dengan menatap kosong kearah depan.
Tak terasa air mataku menetes tanpa bisa dicegah. Dari ambang pintu masuk aku hanya melihat Syafiyyah yang memeluk kakaknya dengan erat. Sebagai balasan kakaknya membalas pelukan adiknya dengan sesekali tersenyum.
"Dia adalah cucu pertama kami." Aku langsung menghapus air mataku ketika suara seorang perempuan paruhbaya menginstruksiku.
"Maaf, saya lancang datang ke kamar cucu anda, Nyonya." Kataku dengan menundukkan kepala.
Dia tersenyum, "tidak masalah, masuklah jika kamu ingin masuk." Dia memegang pundakku, "panggil Tante Maryam saja ya sayang." Aku menatapnya lalu tersenyum.
"Terimakasih tante, sebelumnya perkenalkan nama saya Asyilla Yumna Azzelia. Tante bisa panggil saya Syilla." Aku mengulurkan tanganku kepadanya, dan dia menyambut uluran tanganku. Aku langsung mencium punggung tangannya sebagai rasa hormatku kepadanya.
Tante Maryam menganggukkan kepalanya, "Tante tinggal dulu ya, Nak. Nak Syilla masuk aja gak papa."
Aku mengangguk dan tersenyum, "makasih Tante." Dia hanya tersenyum, lalu meninggalkanku.
Aku kembali memutar badanku kearah dua bersaudara itu. Aku mulai melangkahkan kakiku kearah mereka, Syafiyyah yang melihatku berjalan kearahnya langsung menarik tanganku dan membawa kepada kakaknya.
"Kak, Fiyyah bawa Bunda."
Aku menatapnya dengan tersenyum saat Fahad menatapku dengan tatapan aneh.
Aku mensejajarkan tubuhku dengan Fahad yang duduk diatas kursi rodanya.
"Assalamualaikum kak Fahad." Ucapku dengan mengelus kepalanya lembut.
Dia mengambil tangan kananku yang mengelus tangannya, "wa'alaikumussalam."
Ya Allah, dia masih bisa tersenyum dalam kondisi yang seperti ini. Sungguh dia anak yang kuat.
"Sudah makan?" Gelengan kepala sudah membuatku faham bahwa dia belum makan.
"Kenapa?"
"Hambar."
Aku terkekeh, "emangnya kakak makannya apa?"
Dia menatapku, "bubur."
"Wah, jika menurut tan—oh iya, kak Fahad belum kenalkan sama tante?"
"Bukan tante! Bunda!" Tiba-tiba Syafiyyah mengatakan bahwa aku bukan seorang tante, melainkan bundanya.
Fahad menoleh menatap Syafiyyah, "adek... Dia bukan bunda. Bunda udah disana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anugerah Terindah
RomancePertemuan ku dengan seorang anak perempuan yang sangat manis, membuat ku hidup dengan pria yang dingin, sedingin es Kutub Utara. Bahkan karena anak kecil itu aku menjadi istri, ah jangankan istri, dia menganggap ku saja tidak. Tugasku hanya satu yai...