8.the night

21 9 3
                                    

AKU mendapat kejutan pertamaku di malam itu.

Hari itu Sabtu, sekitar pukul delapan malam dan aku sudah berada di Boucherie Union Square untuk bekerja seperti biasa. Aku dan pelayan lainnya berkeliaran di dapur, sibuk memindahkan piring-piring pesanan ke meja pelanggan.

Akhir-akhir ini aku berusaha keras untuk tidak mudah kesal, karena banyak hal yang kucemaskan dan kutakutkan. Ketika pukul delapan lewat dan James sibuk bolak-balik, aku menawarkan diri untuk pergi ke meja nomor sembilan dan mencatat pesanan pelanggan.

"Hai, aku Taehyung dan aku akan menjadi pelayanmu malam ini."

Perempuan itu tak menjawab. Rambutnya lurus dan telah dipermak, namun wajahnya tertutup buku menu, dan matanya mengintip dari buku tersebut.

"Koktail dan ikan tawar, Tae."

Perasaan yang tajam menghujam perutku ketika aku melihat wajahnya dan menatap matanya. Wajahku melesak karena ketakutan, seakan Sophie telah menarik penopang dari balik kulitku. "Tidak, aku ... tak bisa ..."

"Aku sudah memesannya. Apa maksudmu tak bisa?"

"I'll be right back."

Aku kembali menuju bartender dan menunggu Sarah menuangkan segelas Koktail, tentu saja aku tak ingin kembali ke meja Sophie. Atau menghadapinya atau berbicara padanya.

"Penguntitmu?" Sarah menatap ke arah meja Sophie berada.

"Panggil polisi," aku berkata. Sarah tampaknya tak ingin membuatku melupakannya.

Aku berjalan kembali ke meja Sophie, dan langsung menyajikannya segelas koktail. Ketakutanku berubah menjadi rangkaian pertanyaan yang tak terjawab.

"Kenapa kau melakukan ini?"

"Karena kita harus berbincang, Tae."

Aku berdiri di sisi meja, tak bisa meninggalkannya begitu saja. Di antara kami berdiri gelas Koktail yang kesepian dan piring lebar kosong yang bersih. Aku berdiri di sana, menahan amarah. Sejak pengejaran itu, aku tidak sering keluar sendirian―mungkin hanya ke toko 7-Eleven beberapa kali―dan setiap kalinya aku berharap tak pernah bertemu Sophie di mana pun. Sekarang kamu bertemu kembali. Dia pasti sengaja datang ke sini, sebelum aku bisa menyadari kehadirannya.

"Jangan panggil aku itu," kataku. "Tak ada yang boleh memanggil nama itu selain orang-orang terdekatku."

Sophie mengetuk-ngetukkan jarinya di meja bertaplak putih bersih. "And why not?"

Aku mengusap sisi wajahku, seperti yang kulakukan ketika aku sedang marah sekali. Aku yakin wajahku sudah merah dan perih selama beberapa hari terakhir. Aku berhenti menggigit bibir. Sebuah pemikiran mengerikan menyambarku.

"Kau pasti ingin membunuhku."

"Astaga, Tae, bagaimana kau bisa berkata begitu? Aku tak akan pernah sekejam itu, takkan pernah ..." Sophie terhenti dan menatapku tepat di mata. Aku tak mengatakan apa pun dan berbalik pergi meninggalkannya.

"Aku berhak mendapat yang layak!" Sophie dengan sengaja melempar gelas koktailnya dan menjerit.

"Oh, God. I'm sorry." Aku masih separuh sadar dan nyaris tak bisa menghentikannya.

"Kau tak boleh mengabaikanku kali ini." Aku berpikir tentang pertemuan terakhir kami dan bagaimana dia berusaha menemuiku waktu itu.

"Apa kau anak kecil?" Aku sudah tak tahan lagi. Aku mengambil pecahan beling yang hancur berkeping-keping, menusuk jari-jariku, di permukaan lantai. Apakah Sophie benar-benar ingin membunuhku ketika aku sendirian? Mungkin.

"Tidak, kau yang anak kecil." Ada kegelisahan dalam suaranya. Dia ketakutan. "Kita berdua tahu bahwa kau masih pemula di New York."

"Apa kau bilang?" Aku bertanya, merasa sedikit tersinggung.

Sophie bangkit dari kursi dan membanting meja sampai jatuh terbalik. Aku berdiri dan berjalan mundur ke belakang. Awalnya, hanya beberapa orang yang melihat kami, tetapi sekarang hampir seluruh pelanggan menoleh dan penasaran dengan keributan yang dibuat Sophie.

"Kau tak tahu bahwa kau dalam bahaya. Aku mencoba memperingatimu! Kau harus pergi secepat mungkin dari sini!" jerit Sophie. Wajahnya merah. Dia tak suka aku menyela kata-katanya, seolah bertanya tentang berita paling buruk.

Aku mengerutkan dahi sedikit dan berpikir dengan keras. "Apa maksudmu?" aku bertanya. Aku bergerak mundur dengan gelisah. Sophie terlihat ingin sekali mengatakan banyak hal.

"Kau tak mengerti apa-apa, Tae!" Sophie menjerit. Sophie tampaknya telah melupakan tatapan orang-orang di sekelilingnya.

Aku kehabisan napas. Aku balas menjerit juga, "Apa yang tak kumengerti? Kau yang gila di sini! Jangan pernah menemuiku lagi! Aku serius!"

Para polisi pun datang, menahan Sophie yang bicara mengenai berbagai hal berbahaya dan peringatan. "Selamatkan dirimu sendiri, Tae!"

Oh God, this is gonna be so chaos.
Ini semua benar-benar tidak terdengar baik.[ ]

***

XANNY│VTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang