9.what the

32 2 0
                                    

AKU tak mau membicarakan Sophie lagi.

Begitu juga Sungjae, dan meskipun aku berpikir kalau butuh waktu lama bagiku untuk melupakannya, faktanya Sungjae bersikap seakan peristiwa sinting yang menimpaku tak pernah terjadi. Namun malam itu dia terlihat seperti teman yang benar-benar pengertian untukku, jadi aku menceritakan apa yang terjadi malam itu.

Sungjae mendengarnya tanpa menyela sedikit pun, dan itu butuh waktu yangcukup lama. Ketika aku menceritakannya, aku mendapati diriku menggigil tiba-tiba. Setelah aku selesai, Sungjae kembali dan membawa selimut untukku. Dia lalu duduk menatapku dengan tenang dan serius. Dia tak nampak bosan sedikit pun.

"Mengerikan," ia berkata. "Bro, apa kau sakit? Kau tampak pucat."

"I'm so f*cking afraid, Dude." Aku hampir berteriak. Tanggapannya yang santai justru membuatku marah.

"Maksudku, apa kau tidak penasaran maksud yang dikatakan ... wanita itu?"

"Ya! Aku tak mengerti apa pun yang dia maksud, segalanya!" Aku berteriak kali ini.

"Oke, biarkan aku mencoba menjawab pertanyaanmu. Apa yang ingin kau ketahui?" ia bertanya begitu.

"Baiklah." Pertanyaan apa yang harus kutanyakan jika aku bertemu dengannya lagi? Mulai dari awal. "Kenapa Sophie menyebutku mirip Leonardo DiCaprio?"

Sungjae mengerutkan bibirnya. "Sulit untuk mengatakannya secara pasti. Aku tak pernah bertemu dengan siapa pun yang tergila-gila akut pada Leonardo DiCaprio. Tetapi aku bisa memberitahumu hal ini. Beberapa temanku yang Selebgram punya penggemar-penggemar fanatik yang mengawasi dan membuntuti mereka. Dalam kondisi ini, Sophie mungkin senang kau mirip Leonardo DiCaprio, pujaan hatinya. Kau beruntung bisa setampan aktor itu."

Beruntung? Aneh, aku tak pernah memikirkan wajahku dengan Leonardo DiCaprio sebelumnya. Namun tentu saja hal itu adalah hal yang menakutkan.

"Menurutmu apakah ucapannya benar?" aku bertanya.

"Dulu ada banyak kasus stalker atau penguntit yang nyaris memakan korban jiwa, lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Kau tahu, mungkin dia memperingatimu karena ada penguntit lain yang ingin macam-macam denganmu? Entahlah. Hanya sedikit orang yang menyadari bahwa dirinya berada dalam bahaya. Kukatakan lagi, kau beruntung."

Sungjae melihat jendela di samping balkon sambil berbicara. Lalu tiba-tiba dia melihat tepat padaku. "Penguntit bisa jadi marabahaya yang sesungguhnya," dia berkata. "Namun mereka bukan satu-satunya kriminal di New York, seperti yang telah kauketahui. Banyak artis-artis atau Selebgram diserang oleh penggemar fanatik mereka sendiri."

"Hal-hal yang kulihat dari Sophie―menurutmu apakah dia stalker juga?"

"Mungkin. Sebaiknya tidak perlu kaupikirkan. Hanya keselamatanmu yang penting. Kebanyakan mereka hanya muncul saat kumat dan mencari perhatian. Mengerti kan, karena mereka tak tahu bagaimana cara memilikimu."

"Tapi aku diteror," aku berkata lemah.

Sungjae mengangguk, dan menepuk pundakku. "Dan sekarang kau tinggal di sini bersamaku," dia berkata dengan sederhana. "Kini pergilah tidur. Kau butuh istirahat."

Aku merasakan darah berdenyut di balik kulitku yang hangat. Aku merinding mengingat bagaimana Sophie menyimpan foto-foto cabulku, namun Sungjae mengajakku tidur.

"Joy ingin datang kemari, jadi aku menunggunya di bawah." Ketika aku mengerutkan dahi, dia berkata," Sederhana saja, aku belum berani menembaknya." Dia tersenyum, penuh penyesalan. "Jangan lupa Xanax-mu. Kau akan membutuhkannya."

Itu memang benar. Aku hanya dapat tidur karena bantuan obat Xanax saat merasa sangat gelisah, tetapi untuk malam ini aku tak mengonsumsinya.

***

Aku tak tahu tepatnya kapan aku menjadi sadar akan suara yang muncul dari bawah.

Aku terbangun dan tidur berbaring setengah sadar di kegelapan hangat selama beberapa menit sebelum otakku memahami suara yang berasal dari bawah. Dengan enggan, kubuka sebelah mata. Jam di nakas menunjukkan pukul 01.13. Kamarku luar biasa gelap, dan terdengar suara jeritan yang teredam di bawah lantai.

Suara itu menggangguku. Biasanya butuh waktu yang lama bagiku untuk bangun sepenuhnya, namun kali ini aku mendapati diriku duduk dengan cepat dan memiringkan kepalaku untuk mendengar. Begitu samar sehingga aku tak dapat mendengarnya melalui bunyi denging alami di telingaku.

Aku bangkit dan melangkah keluar, berjalan lima langkah menuju tangga. Suara orang-orang yang bersorak terdengar semakin jelas. Apakah Sungjae sedang berpesta dengan teman-temannya?

Aku mengintip ke bawah. Cahaya lampu membanjiri ruangan, memberikan pancaran yang jelas. Aku melihat seketika kalau Sungjae tidak sendirian.

Sungjae berdiri bersama wanita yang kupikir bernama Joy dan tiga orang yang tak kukenali. Kedua tangan Sungjae memegang pisau, jari-jarinya mencengkram gagangnya. Kedua pisau itu terbenam di dalam sebuah kepala seorang lelaki. Darah mengalir dari balik helai-helai rambutnya.

What the f*ck.[ ]

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

XANNY│VTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang