AKU keluar kamar tepat waktu pagi ini.
Sophie terlihat baik-baik saja, bahkan lebih baik daripada biasanya, dan ia memberinya lambaian ramah dari balik sarapannya yang berupa telur. Aku duduk. Ia memberiku sepiring telur juga dan semuanya terlihat lancar. Kemudian ia merusaknya lagi.
"Bagaimana perasaanmu, Tae? Kau baik-baik saja, kan?"
Aku memandang Sophie dengan canggung. Ia sedang berada dalam kondisi Sophie-yang-Khawatir, dipastikan akan membuatku kikuk.
"Aku baik-baik saja. Bisakah kau mengoper rotinya, Sophie?"
"Hanya saja aku mendengarmu berteriak di malam hari."
"Aku tidak tertarik membicarakannya." Itu benar. Aku mimpi buruk semalam.
"Aku menuju pintu kamarmu, dan kau tertidur. Aku tak suka membangunkanmu."
"Kubilang, aku tak tertarik."
"Baiklah, aku hanya khawatir padamu, Tae."
Aku menyibukkan diri dengan roti panggang. Sophie memainkan potongan terakhir rotinya, melumurkan sisa-sisa kuning telur di sekeliling piring.
"Apa rencanamu hari ini, Tae?"
"Tak tahu. Mungkin pergi ke luar. Tak tahu ke mana tepatnya." Aku tak tahu karena aku baru saja mengarangnya.
"Kau mau jalan-jalan ke luar?"
"Ya. Mungkin aku akan ke Fifth Avenue." Lumayan menjanjikan. Aku menghabiskan telurku sementara Sophie meminum teh dingin.
Telepon berdering. Sophie pergi ke ruangan lain. Setelah lima menit, ia muncul kembali. "Itu tadi temanku. Dia baik sekali mengajakku untuk pergi juga. Jadi sepertinya kita bisa pergi bertiga bersama-sama."
Aku terbengong-bengong mendengarnya. Aku ingin menjerit bahwa aku menolaknya, namun normalnya, hal itu kulakukan dalam hatiku.
"Well, aku rasa aku tidak jadi pergi. Aku akan di sini saja. Ada banyak yang harus kulakukan."
"Tae, kau tahu kau tak seharusnya menghabiskan banyak waktu sendirian." Sophie gugup kembali, mengusap sisi wajahnya. "Aku ingin kau refreshing sebentar. Aku mengkhawatirkanmu."
"Kurasa aku akan tetap di sini saja," aku berkata. "Aku dan temanku berpikir untuk bermain video game. Aku akan baik-baik saja." Aku mencoba meyakinkan Sophie bahwa semua akan baik-baik saja, dan kali ini berhasil.
Sophie mengusap wajahnya sedikit, kemudian setuju dengan sedikit aneh. Aku senang bisa bebas sendirian. Ia telah berada di sekitarku selama dua pekan.
Begitu Sophie pergi, aku mengeluarkan sepeda dan mengayuhnya ke depan. Aku memotong jalan-jalan khusus, melaui jalan Fifth Avenue bernuansa cokelat kelabu terang. Aku melewati toko-toko perbelanjaan secepat mungkin. Sophie sering pergi ke sana bersama temannya. Bukan hal yang bagus kali ini.
Dalam lima menit aku keluar dari pusat Manhattan menuju jalan dengan pusat kawasan Theater Broadway dan papak reklame yang padat. Persimpangan New York Times Square. Aku nyaris menabrak seorang wanita sementara anjing kecilnya mengencingi tiang lampu. Aku menghindar pada saat-saat terakhir, dan melihat ke belakang, melihat wanita tua itu marah-marah.
Aku menyusuri Central Park di sepanjang jalan yang dipenuhi pohon-pohon dan bangku duduk untuk bersantai, melewati para pejalan kaki dan lampu tiang. Akhirnya, aku butuh istirahat. Aku mengerem, mengurangi kecepatan dan berhenti. Tak lama kemudian, aku hampir terlontar ketika sesuatu menabrak sepedaku. Aku terjatuh dan mendarat di atas rumput di sebelah jalur.
"Hati-hati, bodoh!" Kemarahanku tertahan, namun nyaris saja meledak.
"Untuk apa kau berhenti mendadak?" Dengan cemberut, orang itu menatapku.
"Sungjae!" Aku memekik. Si Sialan itu rupanya temanku. "Aku hanya butuh istirahat. Kau sejak kapan membuntutiku?"
"Aku hanya mengikutimu saat kau memasuki area Manhattan. Aku tepat berada di belakangmu dan kau bahkan tak menyadarinya."
Kemudian aku berkeluh kesah kepada Sungjae. Aku tak sepenuhnya jujur. Ketika berurusan dengan hal itu, aku memang tidak ingin merepotkan Sungjae. Ia terlalu─entahlah─menyebalkan tanpa tujuan yang jelas, tetapi juga perhatian, di mataku. Selalu aneh, tak pernah berhenti untuk bercanda. Tetapi aku tak tahu lagi harus kepada siapa aku bercerita.
Kami duduk di bangku dalam keheningan selama beberapa saat, memikirkan hal ini. Sungjae melihat ke arahku sekali atau dua kali. Mungkin ia berpikir kalau aku menyedihkan karena kulit tanku. Yang membuatku terkejut, Sungjae lalu memecah kesunyian.
"Kalau begitu, ayo tinggal bersama di apartemenku, Tae. Aku merasa sendirian, dan kupikir ada baiknya kita bisa bermain video game sampai pagi."
"Apa boleh?" Aku bertanya, sedikit ragu.
"Akan aman kalau kau tinggal bersamaku. Aku tahu gadis gila itu membuatmu ketakutan, tetapi aku akan selalu bersamamu."
"Apa ...."
"Kita bisa membaca komik dan pergi menonton Theater Broadway bersama!"
"Ya, well, benar juga!" Senyuman lebar, pertama yang kubuat setelah dua hari yang lalu. Sungjae tertawa sedikit, membiarkanku tertawa juga. Dan yang lebih baik lagi, ia meneruskan bicaranya.
"Aku tidak keberatan berbagi tempat denganmu karena menurutku apartemenku terlalu besar," ia berkata. "Kau harus pindah ke sana malam ini!"
Sesuatu yang dikatakan Sungjae membuatku sangat senang. Aku mencoba menahan untuk tidak berteriak. "Oke, aku akan berkemas dan menelepon jasa pindahan nanti sore."
Pada saat yang sama, ponselku bergetar. Aku menatap layar permukaannya, hampir tersedak ludahku sendiri.
Sophie Meyer (3)
|Tae.
|Kau di mana?
|Apa kau pergi ke luar?Aku harus menggunakan keahlianku. Aku akan berbohong.[ ]
· · ·
KAMU SEDANG MEMBACA
XANNY│V
FanfictionKim Taehyung merantau ke Amerika Serikat. Ia akan menjadi mahasiswa resmi Universitas New York, dan dengan begitu ia mencari tempat tinggal yang nyaman. Bersama seorang gadis asal Texas, mereka bersepakat berbagi kamar sewa. Hanya pada malam harilah...