Malam itu hujan amat deras. Rintik air yang berhasil membasahi rambut pirangnya bahkan tak lebih banyak dari rasa bersalah yang kini berkecamuk di kepala Steve.
Well, Steve Rogers. Captain kesayangan kita. Selera manusia 70-an mungkin memang sedikit berbeda, ketika orang lain berusaha menghangatkan diri dengan berbaring didekat perapian, pria itu malah akan membiarkan kepalanya ikut menikmati basah. Well, beberapa tetes hujan tak akan membuat Super Soldier jatuh sakit, bukan?
Steve memang pengagum hujan. Bagi Steve, tak ada yang lebih baik daripada berbaur dengan air, sesekali bercerita pada dingin, atau sekedar menghirup aroma pekat tanah basah. Pria itu tak menginginkan lebih, seperti wanita panas yang menghisap keras bibir bawahnya atau berbotol-botol vodka yang menghiasi lemari pendinginnya, Oh big No! Steve tak suka itu semua. Ia pria sederhana, yang cintanya setia pada negara–etika seorang prajurit.
Tiga minggu lalu, Avengers–mereka menyebutnya kumpulan superhero–pecah. Perang tak terhindari. Mereka terbagi, pihak yang percaya Cap, atau mendukung Tony. Tak sedikit yang mengatakan bahwa semuanya salah Tony. Pria itu bajingan egois. Avengers memang tak seharusnya dibawahi oleh PBB, mereka Swasta, berjalan sendiri, dan akan selalu siap ketika alien menginvasi Bumi. Namun, pandangan Tony tak begitu. Avengers terlalu berbahaya. Sokovia sudah membuktikan bagaimana warga sipil akan ikut menjadi korban. Memang bukan salah Avengers sepenuhnya, tapi organisasi ini harus memiliki induknya. Tak berjalan sendiri, dan bergerak mengikuti kemauan dunia.
Steve marah. Ia tak pernah merasa sekecewa itu pada Tony. Apalagi dengan tuduhan Bucky–teman masa kecil Steve–menyerang rapat PBB yang mengakibatkan raja Wakanda tewas dan menimbulkan konflik yang cukup besar. Steve harus melindungi Bucky. Pria itu banyak membantu Steve ketika dirinya belum mengajukan latihan militer. Bucky selalu disampingnya, mendukungnya, mereka berjanji akan selalu bersama sampai akhir, dan ketika Steve tahu bahwa Bucky merupakan penyebab orangtua Tony tewas, Steve berusaha mengunci rapat-rapat. Ia hanya melindungi Bucky dan tak ingin menyakiti Tony.
Namun, Tony tahu.
Ketika hujan berangsur reda, nyatanya tak ada yang lebih menyesakkan dada Steve ketika mengingat bahwa perisainya telah merusak jantung buatan Tony. Menghajar hidungnya hingga patah, dan Steve bahkan tak ragu ketika rahang Tony bergeser.
Padahal Steve menyukai Tony. Namun harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakui itu. Ia hanya ingin membalas budi Bucky, tanpa berfikir dari sudut pandang Tony. Nyatanya Steve terluka lebih parah ketika Tony terluka.
Yup, Tony Stark.
Siapa yang tak tahu playboy kelas kakap itu? Well, tak apa jika kalian tak mengenalnya, ia hanya terkenal dikalangan pelacur. Kecuali kalian salah satunya.
Selain playboy, Tony brengsek. Ia hanya pernah manjalin hubungan dengan Pepper Potts, wanita cantik dengan kaki jenjang yang dapat memikat pria dengan sekali lirikan. Sebelum semua orang seolah ikut patah hati ketika melihat kacaunya Tony saat dicampakkan oleh gadis itu. Ia ditinggalkan, tepat di malam dimana Tony melamar Pepper.
Tony sakit. Hatinya patah. Tak ada yang tahu bagaimana ia bisa menjadi brengsek playboy seperti sekarang. Namun Tony bahagia. Ia merasa menjadi raja. Tak perlu lagi sibuk menjemput Pepper walau ia sedang rapat penting atau pusing memilih antara dua potong pakaian yang ditanyakan Pepper ketika mereka berbelanja.
Kini Tony bebas. Semua wanita bertekuk lutut padanya. Ayolah, pasti kalian juga pernah membayangkan satu malam panas dengan pria pendek tersebut, kan? Mendesah keenakan sementara pria itu sibuk menambah tempo kecepatan, mengerang, sebelum sperma-nya akan membasahi hampir seluruh wajahmu.
Nyatanya tak hanya wanita, siapa yang tahu bahwa Iron Man adalah seorang biseksual?
Tony menyukai Steve. Steve yang hangat, yang selalu sinis ketika Tony melancarkan sarkasnya, namun pria itu akan tetap baik. Steve tetap akan membantu Tony mengeluarkan isi perutnya ketika terlalu banyak martini yang melewati lambungnya, atau membantunya mengganti pakaian ketika Tony terserang demam.
Dan hanya dengan perhatian kecil Steve, Tony bahagia. Karena hanya dengan itu Tony merasakannya. Ia merasa dicintai.
Namun, perjanjian Sokovia mematahkan harapannya. Tony kembali tak percaya Steve, maupun orang lain. Ia berhenti. Hatinya terlalu patah untuk kembali, dan sepertinya tidak akan pernah menjadi semula.
Otaknya selalu memutar tatapan Steve saat itu. Hanya ada kemarahan dan benci. Well, mungkin Tony memang pantas dibenci. Ketika kepalan tangan Steve merusak wajahnya, Tony tak melawan. Ia hanya melindungi diri. Tony tak ingin melukai Steve, ia hanya ingin membunuh Bucky. Namun Steve egois. Tak mengerti perasaan Tony. Pria besar itu melindungi Bucky sepenuh hatinya. Ketika, perisai Steve merusak logam di dadanya, Tony hanya tak ingin kembali percaya pada siapapun dan apapun.
.....
Saat Steve kembali menuju Avengers Towers tak ada yang tersisa.
Tony pergi, seluruh Avengers kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Tak ada lagi bentakan Thor ketika Bruce memilih Romance-comedy untuk film malam mereka. Atau ocehan Natasha ketika Clint membuang ampas kopi di saluran wastafel. Namun, mereka akan tertawa bersama ketika mendengar Tony berteriak frustasi akibat armor-nya yang lagi-lagi kurang sempurna.
Sesuatu yang sederhana. Yang mampu menghangatkan dada Steve. Avengers adalah keluarganya baginya. Dan ketika menyadari bahwa mereka hancur akibat keegoisan Steve, kepala Steve sakit.
Steve merindukan Tony. Merindukan suaranya, wangi tubuhnya, dan bagaimana mereka berbagi kehangatan setiap malam. Steve menyadari semuanya. Dirinya salah. Ia tak berpikir panjang. Padahal hanya Steve yang dimiliki Tony. Namun Steve terlalu jahat untuk pria itu. Kesalahannya terlalu besar hanya untuk sekedar menuntut maaf.
Bagaimana setiap malam Steve akan bergumam nama Tony dengan seluruh ungkapan penyesalannya, mungkin dapat menunjukkan bahwa Steve sama menderita dengan Tony. Steve merindukan pria-nya, atau hampir menjadi pria-nya sebelum tinju Steve berhasil mematahkankan hidung Tony.
Steve menangis. Ia hanya ingin menemui Tony, menyesap aroma rambutnya, atau sekedar memagut bibirnya yang penuh.
Namun tak ada kesempatan yang tersisa.
Karena itu Steve tersenyum. Steve merasa bahagia ketika dirinya berangsur tak lagi merasakan kencang bisepnya. Nafasnya tercekat, jantungnya tak lagi bekerja dengan baik. Tubuhnya tergeletak diatas tanah, dibiarkannya terguyung hujan. Pandangannya tak lagi jelas, kabur oleh genangan air matanya sendiri. Ketika besi panas dengan ganas merobek kepalanya, Captain America kini hanya tinggal cerita. Ia akan bertemu Tony sebentar lagi. Bertemu cinta sejatinya.
FIN