Tony tak dapat berkata-kata ketika sang penyihir dengan jubah merah aneh itu memberikan Time Stone kepada Thanos. Menyelamatkannya? Hell, Tony merasa bahkan dirinya tak perlu diselamatkan.
Ketika Thanos lenyap ditelan portal, Tony hanya dapat menghela nafas. Kini semuanya kacau, dan fakta bahwa dirinya menjadi sebab utama kekalahan membuat kepalanya pusing. Ia butuh sedikit tinju pada hidungnya untuk menjaga kewarasannya. Sialan, kemana perginya Thanos? Bagaimana kondisi bumi? Apa yang akan dilakukannya dengan batu-batu itu? dan pertanyaan-pertanyaan yang Tony sendiri tidak tahu jawabannya terus bermunculan, membelah memenuhi kepalanya.
"Stark."
Tony menoleh. Pandangannya menangkap sang penyihir, Dr. Stephen Strange yang melangkah mendekatinya. Mengusapkan jemarinya menutupi robek di sisi kiri perut Tony akibat ulah Thanos. Tony meringis. Rasanya nyeri. Ia butuh rumah sakit, dan beberapa dokter untuk mempercepat regenerasi daging dan kulitnya.
Ketika Stephen menekan kuat telapaknya, Tony kembali meringis. Nafasnya tak beraturan. Ia bukan Dewa ataupun super soldier dengan serum yang dapat menahan sakit dengan staminanya yang luarbiasa. Tony hanya manusia. Pria biasa yang kebetulan jenius.
"Kau akan baik-baik saja," ucap Stephen pelan. Ia mengusap luka Tony pelan yang berangsur menutup. Oh, sepertinya Tony lupa bahwa Stephen adalah penyihir, dan juga dokter.
"Apa yang kau lakukan? Kau berjanji menjaga batu itu dengan hidupmu, Stephen. Bagaimana kau bisa memberinya begitu saja? Kau membuat-"
"Shh, Tony, tenang." Stephen mendekati Tony. Terduduk di sampingnya sebelum membawa pria kecil itu ke dalam rengkuhannya sembari mengusap surai kelamnya perlahan.
"Aku tidak memberinya begitu saja. Aku menukarnya dengan nyawamu, Tony."
"Kau harusnya tak perlu melakukan itu, bukan? Aku juga seorang pahlawan. Aku siap untuk mati kapanpun, bagaimanapun!"
Stephen menggeleng pelan. "Tidak ada jaminan bahwa kita akan menang jika kau mati saat itu. Aku penyihir, Tony. Aku dapat melihat apa yang tidak kau lihat."
"Kalau begitu katakan apa yang kau lihat yang tidak dapat kulihat."
"Jika kukatakan, maka tidak akan pernah terjadi."
Tony terdiam.
"Maaf, Tony." Ucap Stephen pelan. Ia kembali membawa Tony pada rengkuhannya. Mendekap pria kecil itu bagai oksigen yang tak akan ia lepaskan. Maka, ketika jubahnya menjadi terlalu basah atau tubuh Tony yang gemetar hebat, Stephen tak mengatakan apa-apa. Ia hanya memeluk Tony erat-erat.
FIN