Ketika matahari terbit di timur, tak ada yang dilakukan Tony selain mengenakan pakaiannya kembali. Seorang berambut gelap dengan mata hijau yang berbaring di ranjangnya kini sudah berbalut selimut. Ia tertidur, dan Tony tak setega itu untuk mengganggu mimpi indahnya. Semalam ia sudah bekerja terlalu keras.
Semua orang tahu bagaimana Tony membenci bangun pagi, namun pagi ini berbeda. Jemarinya bergetar sejak dirinya terjaga, menandakan gugup luar biasa.
Tony melangkah keluar dari kamarnya. Tak merasa perlu mandi, Tony mengendarai salah satu koleksi mobilnya menuju suatu bangunan sederhana. Ia akan memulai harinya dari sini, mengabaikan tatapan tak suka sang pemilik akibat aroma sperma yang menguar dari tubuhnya. Sialan, toh ia tetap harus berlaku ramah pada pengunjung. Mereka menginginkan uang Tony, bukan?
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
Tony mengutarakan maksudnya, ia memilih sepasang cincin perak dengan taburan emerald hijau yang sederhana. Tidak norak dan terlihat sangat cantik dimatanya. Dan membayangkan seseorang yang terlelap itu mengenakannya membuat bibir Tony melengkung.
"Aku pilih yang ini, dan apakah kalian menjual bunga?"
"Maaf Tuan, kami hanya menjual perhiasan."
Tony mengangguk paham. Setelah membayar pesanannya, pria itu keluar. Kembali mengendarai mobilnya menyusuri Indiana, kota kecil dengan pemandangan alam luar biasa.
Tony kembali berhenti kedua kalinya didepan sebuah bangunan reyot yang terlihat ingin rubuh. Yang Tony tahu, bangunan itu menjual bunga yang Tony butuhkan. Jelas sekali dengan papan besar dipintunya dan beberapa design bunga yang terpajang di jendela.
"Hallo?" Deritan panjang menyambut telinganya ketika Tony membuka pintu. Tak ada siapa-siapa disana, kecuali seorang nenek yang sibuk menata bunga di mejanya.
"Hai, apakah kau menerima pesanan bunga?"
Tony mendekat, dapat dilihatnya sang nenek tersenyum sebelum mengangguk.
"Aku sudah tahu kau akan kemari. Lihat, aku membuatkannya khusus untukmu."
Sebuah bucket yang didominasi warna hijau itu luar biasa indah hingga Tony tak bisa menahan untuk tidak tersenyum seperti orang tolol. Tanpa basa-basi, ia memeluk sang nenek sebelum pergi dengan meninggalkan beberapa lembar dollar.
Untuk ketiga kalinya, mobil Tony kembali melaju. Jemarinya bergetar lagi, bahkan lebih hebat dari tadi pagi.
Namun, semuanya hilang ketika Tony sampai pada rumah kayu minimalis dan disambut oleh seseorang yang mengomel bahkan sebelum Tony turun dari mobilnya. Yang kebanyakan tak Tony dengar, karena detak jantungnya lebih berisik dari itu semua.
Tony mendekat, ia menatap kekasihnya. Seseorang yang hebat. Yang entah bagaimana dapat membuat Tony hanya menatap padanya.
Seseorang yang bahkan lebih tangguh dari Steve Rogers, lebih indah dari Natasha Romanoff, lebih pintar dari Bruce Banner, lebih perkasa dari Thor, atau bahkan lebih lincah dari Clint Barton.
Seseorang yang menemaninya ketika dini hari memperbaiki armor setelah perang, yang memasak bacon dan telur goreng untuk sarapannya, membuat susu cokelat hangat untuk pengantar tidurnya, sebelum ia akan mengusap punggung Tony dan mereka akan tertidur berpelukan.
Tony tak pernah merasa senyaman ini. Bahkan, ketika seseorang itu meneriaki telinganya akibat Tony kehilangan waktu tidurnya selama 72 jam.
Satu-satunya manusia di dunia ini yang Tony percaya memegang kendali penuh atas dirinya, uangnya, rumahnya, atau apapun atas nama Anthony Edward Stark. Dan dia menerimanya, menjalankannya sepenuh hati untuk Tony. Tanpa balasan atau apapun, cintanya setia milik Tony.
Maka Tonypun jatuh pada pesonanya. Tony, billionaire yang entah kapan tak lagi playboy, kini berlutut dengan satu kakinya, membuka kotak merah kecil berisi sesuatu yang berkilau terpatri sinar mentari, tersenyum tampan sekali hingga terlihat kerutan dimatanya. Namun, itu tak penting. Seseorang didepannya yang sejak tadi mengomel kini bungkam. Ia tersenyum tak kalah indah. Air matanya lolos begitu saja
"Aku tahu aku brengsek, aku hanya bajingan yang kebetulan jenius. Yang entah dengan keberanian apa berani mencintaimu yang kelewat sempurna. Aku ingin kau selalu bersamaku, dan dengan senang hati aku akan selalu bersamamu."
Tony menghela nafas, "Aku ingin memulai hubungan yang baru denganmu, yang semua orang tahu dan menerimanya. Will you marry me, Jarvis?"
Dan ketika seseorang itu menggangguk, tak ada yang dapat mengalahkan bahagia Tony saat itu. Ia berdiri, memasang cincin di jemari calon suaminya sebelum menariknya dalam ciuman lembut.
"Don't leave me, buddy."
"I promise, sir."
FIN