Bagian II : Rakantara Si Ambisius

26 5 2
                                    

==++++++++++

06:35

Masih 25 menit, membosankan. Terlihat orang-orang sedang sibuk dengan aktivitas mereka di pagi ini, bahkan kendaraan mulai memadati jalanan ibukota.

Entah sudah ada berapa angkot yang kutolak dengan alasan masih ingin menikmati pagi dengan bersantai sebelum otakku dipenuhi rumus-rumus menyebalkan.

Selagi aku menunggu hingga pukul tujuh. Aku mengambil sebuah buku lusuh hasil selundupanku dari gudang perpustakaan sewaktu SMP yang tak ada bosannya untuk kubaca saat sedang jenuh, bukan novel seperti kebanyakan remaja perempuan lain, melainkan buku yang berisi legenda dan mitos, yang mungkin kebenarannya cukup dipertanyakan. Yah, memang kekanakan tapi bagiku buku ini jauh lebih baik daripada novel yang isinya selalu membuat kepalaku berdenyut.

"Haha mampus, rasain tuh." Kadang disela membaca, aku tak sadar mengoceh sendiri apabila ada hal yang kusenangi ataupun tak kusenangi dalam bacaan itu.

Tteet ttett

Ttett ttet

Ttet ttett

Sungguh berisik, jangan harap itu adalah suara klakson mobil milik anak populer yang tak sengaja melihatku di halte dan berniat mengantarku ke sekolah. Yang benar saja, sekalipun itu mobil mewah tentu suaranya tak akan senyaring itu. Kulanjutkan bacaanku dan tak menghiraukan bunyi klakson angkot yang kurasa sedang mengejar setoran hari ini.

"Woy neng, gak ke sekolah apa? Temen-temen neng udah gak ada yang lewat lagi tuh. Udah jam tujuh lewat juga."

Hahh?! Jam tujuh lewat?? Dan astaga!! saat kutengok jam tanganku, ternyata sudah menunjukkan pukul 07:15. Mampus!

"Bang-bang tunggu bang." Kulihat angkot yang tadi sopirnya menyahutiku perlahan menjauh, aku terus berlari dan berteriak memanggil abang sopir tersebut. Tak kupedulikan penampilanku yang berantakan akibat tingkahku mengejar angkot.

"Baanggg !!." aku berusaha melambaikan tangan dan untung saja sang sopir melihat apa yang kulakukan.

Sesaat aku naik ke angkot, terlihat ibu-ibu yang nampaknya akan ke pasar menggeleng-gelengkan kepala bahkan ada juga yang menatapku prihatin. Aku hanya menanggapi mereka dengan cengiran lebar tanpa berniat untuk tersinggung.

"Hehe."

"Bang, stop-stop. Disini aja." Ucapku panik.

"Kenapa neng? Masih jauh juga." Sang abang rupanya keheranan.

"Etdah, bang gak liat di depan gerbang udah ada buto ijo."

"Emang ada ya buto ijo pake seragam neng?."

"Yaelah bang kok malah ngajakin ngobrol sih, ini bang saya duluan. Makasih." Aku kemudian menyodorkan selembar uang dua ribu rupiah dan segera berlari tanpa memperhatikan apa yang ada di depanku,

BUGH.

Sungguh memalukan, tubuhku langsung saja memeluk trotoar jalan tanpa ada orang yang memperhatikan. Huhh untung saja anggota osis yang berjaga di depan gerbang sekolah tak melihat. Maka untuk itu, aku kemudian berjalan sepelan mungkin dan bersembunyi di balik rimbun tanaman hias tepat di samping gerbang. Sekitar sepuluh menit aku berjongkok, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil yang kuduga pasti milik salah seorang guru. Aku segera bangun dan mengendap-endap bersembunyi di balik mobil hingga akhirnya pintu gerbang dibuka oleh satpam. Tanpa menunggu aba-aba, segera aku melesat menuju kelasku di lantai 3.

Inilah awal keseharianku di sekolah.

______________________W

Pelajaran berjalan membosankan terlebih teman-temanku. Kulirik mereka semua yang memasang berbagai ekspresi malas. Lihat saja, disini aku berperan setidaknya menyelamatkan guruku yang kurasa akan mati di tempat saat tak satu pun siswa yang memperhatikan. Kata pintar rasanya belum pantas untukku, yah aku berada di bangku paling depan di barisan tengah yang langsung berhadapan dengan papan tulis.

earthenwareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang