Bagian IV : Sambutan di Pagi Hari

20 5 1
                                    

I wish that i could wake up with amnesia

And forget about the stupid little things

(Amnesia-5sos)

Hal gila apa lagi yang kuharapkan saat ini. Setelah seharian kemarin aku dan Syafa mengerjakan tembikar imut itu, aku benar-benar tidak sadar bahwa bulan ini adalah musim penghujan. Dan satu lagi, aku kembali melupakan fakta bahwa tembikar membutuhkan matahari agar menjadi tembikar yang sesungguhnya. Argghh, benar-benar....

"Lo kenapa Dan? Frustasi amat, udah kayak...." Salah seorang temanku, Rahman memandangku aneh saat baru saja masuk ke dalam kelas.

"APAA KATA LO?!" Tanpa sadar aku berteriak dan hendak melempar buku paket ke arahnya. Terlihat Rahman yang kaget dan tanpa diduga balas berteriak kepadaku.

"TEMEN-TEMEN, LIAT DEH DANI KESURUPAN!" Kulihat Rahman berlari keluar sementara teman-temanku langsung datang dengan ekspresi panik.

"RAHMAN, MAU LARI KEMANA LO!?!." Aku yang hendak bangkit segera ditahan oleh teman-temanku.

"Nyebut Dan nyebut, Istighfar."

"Panggilin pak Karmin woy." Terdengar Eko turut berteriak berniat mencari satpam sekolahku yang sering menangani siswa kesurupan. Hingga kemudian aku memandanginya horror dan ia pun memandangiku serupa.

Dasar, aku yakin mereka terlalu sering menonton acara uji nyali tak berfaedah itu dan begitu saja mendiagnosaku sebagai pasien kesurupan. Kupandangi mereka dengan tatapan kalian-pergi-atau-gue-nangis agar mereka segera menyingkir dari hadapanku. Namun, kulihat Rahman kembali datang dan kian menyulut emosiku mengingat ulahnya tadi. Kuperhatikan di tangannnya terdapat segelas air yang entah ia dapat dari mana.

Byyuuuurr

Basah. Aku dapat merasakan seluruh mukaku kini dipenuhi air, parahnya air itu hasil kumur-kumur dari si Rahman.

"Gue sadar, kalian puas?." Aku berusaha bersikap tenang menghadapi mereka yang tengah memasang ekspresi was-was.

"ALHAMDULILLAH..." Sontak secara bersamaan mereka mengucap syukur, terlihat kelegaan dipancarkan dari raut wajah mereka seakan beban telah lepas sepenuhnya.

"Udah-udah mending kalian balik ke bangku masing-masing, dan buat lo Rahman, sini!" Aku menunjuk Rahman agar segera mendekatiku, ia terlihat menurut saja.

"Kenapa lagi Dan? Airnya gak mempan? padahal udah gue tiupin ayat kursi loh." Tanyanya seolah tak sadar dengan apa yang ia perbuat tadi.

"Gak-gak, tadi udah mempan banget malah. Ini, tolong lo beliin gue tisue sekarang juga dan ingat pesan gue baik-baik. Lo jangan pernah nonton acara uji nyali lagi, ngerti?." Aku menyodorkan selembar uang dua ribu tanpa berniat untuk berteriak seperti tadi. Sepertinya aku harus bersikap tenang di hadapan anak ini jika tak ingin disangka kesurupan lagi.

"Kok gitu?! lo ketinggalan jaman sih Dan, lagipula gara-gara acara itu yah gue jadi bisa waspada sama 'mereka' apalagi saat ngeliat lo tadi." Ia tampak tak terima dengan pesanku tadi.

"Iya-iya, gue ngerti. Sekarang lo harus tanggung jawab sama muka gue." Ucapku sebal dengan tingkahnya itu.

"Eits, tenang Dan. Gue udah bawa ini." Kulihat ia mengeluarkan sebungkus tisue dan beberapa permen susu dari kantong celananya.

"Nih buat lo." Katanya lagi sambil menyodorkan kepadaku dan berlalu begitu saja tanpa mengambil uang di tanganku.

"Rahman, makasih." Aku tersenyum dan menoleh ke arah bangku bagian belakang tempat ia duduk. Kulihat ia menganggukkan kepala membalas senyumku, sebuah senyum yang baru kusadari di balik tingkah anehnya yang kuanggap menyimpang selama ini.

earthenwareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang