Bagian V : Kepadanya Mata Tertuju

18 5 0
                                    

*Backsound 5SOS-Greenlight

Aku mendengarkan dengan seksama instruksi Raka, lihatlah semua teman-teman kelasku turut serta menyimak dan entah mengapa hal tersebut terasa sangat aneh. Tidak biasanya anggota kelasku begitu saja dapat mengorbankan jam pulang. Menurut sepengetahuanku, mereka sangatlah menyayangi waktu seperti ini hingga tak satu pun yang mengikuti kegiatan ekskul termasuk diriku terkecuali bagi Raka si ambisius. Yap, dia termasuk anggota klub Futsal di sekolah hingga tak jarang memboyong gelar juara sehabis turnamen.

"Alan, lo jadi kiper. Gue, dan Erol jadi penyerang. Tono dan Lian yang jadi pertahanan." Raka menatap mereka yang akan ikut bertanding satu per satu, rasa-rasanya semua ikhlas dengan pertandingan ini mengingat aku-lah yang menjadi pemicu masalah.

"Terus gue, jadi apa dong?" seru Bono dan Rahman bersamaan, mereka hendak protes dengan keputusan Raka .

"Cieee, ada yang jodoh nih." Salah satu temanku, Agil dengan sikap jailnya langsung meledek kedua orang itu. Sontak kami yang mendengarnya tak bisa menahan tawa mendengar celetukan asal-asalan si Agil.

"Ciee, ciee." Tak ketiggalan temanku yang lainnya pun ikut menyoraki hingga membuat Rahman dan Bono saling bertatatapan tidak suka.

"Naudzubillah, idih kalian ke Pluto sana. Mending gua ke kantin daripada harus ngeliat kalian tatap-tatapan gitu, ngeri tau nggak!" Seketika Lani berteriak ingin muntah melihat adegan tersebut seraya menarikku dan Syafa yang memasang tampang bingungnya.

"Eh? Kita mau kemana Lani?." Aku terheran dengan Lani yang khas dengan sikap spontannya.

"Ke kantin ibu ketua, Dani bolot ya." Ujar Lani sarkas, mendengarku bertanya.

"Iya gue tahu, tapi gue lagi nggak bawa uang." Sontak Lani berbalik menatapku dan menunjukkan cengiran andalannya.

"Tenang Dan, gue yang traktir kok." Lani menaik-naikkan alis tanda semua akan baik-baik saja.

"Eh? Yakin lo?." Sekali lagi aku memastikan pendengaranku.

"Yakin banget tuh Dan, Lani habis nerima duit arisan juga." Syafa menjawab pertanyaanku.

"Elah, lo gak usah bilang-bilang juga Fa, entar anak-anak ngedenger lagi." Lani memasang wajah waspada, seolah takut semua uangnya akan berakhir di kantin.

"Kita mau makan dimana nih?" Aku kembali bertanya ketika kami telah sampai di pelataran sekolah.

"Kita makan di warungnya Bang kumis aja yah?." Lani balik bertanya.

"Gue mah terserah lo-nya aja. Asal gratis." Aku tersenyum girang mengingat lezatnya mie pangsit buatan pak kumis nantinya.

"Eh tapi Lani, masa lo gak inget kalo tadi itu lo ngomongnya pengen ke kantin, kan? kalian nyadar nggak sih kalo warungnya agak jauh, kalian emang sanggup jalannya?" Kini Syafa angkat bicara menyadarkan aku dan Lani bahwa ternyata warung itu tidak sekadar dekat apalagi saat ini kami sudah dalam setengah perjalanan.

"Oh iya. Gue lupa, Fa. Lagian kantin kan udah tutup, mana gue lagi pengen pangsitnya bang kumis nih." Lagi-lagi Lani menunjukkan ekspresi kelaparan sambil terus berjalan menarikku juga Syafa.

"Ya udah, serah lo sih. Gue masih kuat buat jalan, nggak tahu kalo kalian." Syafa mengedikkan bahu membiarkan kami terus berjalan.

Sesaat kemudian tepat di bahu jalan bagian kiri terpampang jelas papan nama warung yang kami tuju, dengan semangat juang '45 kami terus melanjutkan langkah. Kami melewati sebuah Cafe tepat di seberang jalan sebelum warung Bang kumis, yah bisa dilihat bagaimana di dalam Kafe telah dipenuhi anak-anak SMA yang rata-rata berasal dari sekolah kami.

"Cih, gaya banget elah. Mereka duduk-duduk doang sambil minum jus yang harganya bisa dapat tiga mangkok pangsit belum lagi makannya. Tekor langsung gue." Terdengar Lani mencibir seraya membandingkan harga yang bisa ia keluarkan jika berkunjung ke dalam Cafe itu.

"Itu mah lo-nya aja. Jangan ngomong kayak gitu ah, awas entar kalo kemakan sama kata-kata lo sendiri." Syafa mengingatkan Lani agar tak begitu mudah mencibir suatu hal yang dapat berakibat pada diri sendiri.

"Gue setuju dengan Lani, kita itu harus HE-MAT. Iya kan, Lan?" aku menoleh kepada Lani yang hendak protes dengan perkataan Syafa. Langsung saja Lani menganggukkan kepalanya dan mengajakku ber-tos yang dihadiahi gelengan dari Syafa. Tak berapa lama kami pun sampai tepat di depan warung dengan papan nama yang disertai foto narsis bang kumis.

"Akhirnya. Eh, kalian pesan apa?" tanya Lani begitu kami sampai.

"Samain aja." Aku menyahut disertai anggukan kepala Syafa.

Saat kami akan mengambil tempat untuk duduk, tanpa sengaja aku menoleh ke belakang tepat di seberang jalan beberapa meter dari warung bang kumis. Aku menahan napas ketika melihatnya, lagi. Ya, dia si kakak kelas dengan gaya dingin andalannya menaiki mobil yang kutebak bersama si permen karet a.k.a si lem kayu yang kuyakini mereka baru saja berkongkow ria di Kafe seberang, 'Hah, kehidupan putri dan pangeran' pikirku.

===

"Asem ya lo berdua, gue baru mulai makan eh tau-taunya kalian udah hampir habis. Mana jalannya kayak orang dikejar setan lagi." Aku menarik napas dalam-dalam saat harus menyamai langkah mereka hingga telah mendahuluiku sampai di gerbang sekolah.

"Elo kali yang lamban Dan, udah tahu Lani lagi kelaparan. Ya gitu." Syafa menyahut dan mengajakku serta Lani untuk duduk di salah satu bangku di dekat pos satpam.

"Idih, kayak lo nggak lapar aja Fa." Lani mengernyit menatap Syafa yang dibalas senyum kalem milik Syafa.

Tiing, ting, tingg..

Dari arah luar gerbang sekolah, kami dapat melihat sebuah mobil hitam yang kulihat di depan Kafe tadi.

"Woyy, tuh gerbang siapa yang tutup sih?" teriak salah seorang penumpang mobil tersebut sambil menyembulkan kepalanya dari kaca mobil.

Sangat jelas, pertanyaan itu ditujukan kepada orang yang berada di dekat gerbang dan itu adalah kami.

"Kamu yang nutup kan, Dan?" Ujar Syafa menyikutku.

"Iya, emangnya kenapa?" Tanyaku bingung.

"Rajin sih rajin, tapi gak segitu juga Dani." Lani menarik kerudungku gemas melihat tingkat ke-rajin-an yang sering kutunjukkan di kelas.

"Udah, lo buka sana." Perintah Lani.

"Nggak ah, gue capek. Mereka jutek gitu." Aku menolak. Meskipun klakson mobil mewah milik kakak kelas itu kian berdenting nyaring.

"Emang yang nutup gerbangnya tadi siapa ibu ketua?" Tanya Syafa yang mau tidak mau harus ku-iya-kan.

Saat aku hampir sampai di depan gerbang, ternyata oh ternyata si pangeran telah berhasil membukanya. Membiarkan ia menyetir mobil itu masuk sembari terus menatapku tajam dari arah mobil tak lupa bersama si putri jelita dan para pengawal.

'woah, dia lagi.' Ketusku dalam hati.

//////////

earthenwareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang