Bagian III : Tembikar dan Kakak Kelas

17 5 0
                                    


Aku berjalan dengan tergesa menuju ruangan kelasku, tak seperti biasa aku datang sepagi ini. Kejadian kemarian membuatku was-was, bahkan hari ini aku berencana untuk tak bersekolah dan berniat bolos, tapi sayang aku tak punya nyali untuk itu.

*flashback on*

"Bukannya lo tadi yang nginjak tembikar pacar gue sampe bonyok itu kan?! Ngaku gak lo?!." Seorang gadis berambut hitam pekat dengan panjang se-siku dan dihiasi pita kupu-kupu berwarna biru laut tengah menatapku tajam sembari menunjukku. Badannya yang semampai disertai dandanannya yang sporty namun tetap feminim sanggup membuat siapa saja menatapnya iri. Sementara di sampingnya terlihat tiga pemuda berseragam SMA yang kini menjadi fokus utama anak perempuan di kelasku. Mereka terlihat sama menatapku tajam terlebih pemuda yang kini merangkul bahu gadis tersebut.

"Iya kak, maaf. Saya beneran gak sengaja." Ucapku merasa bersalah karena berlari begitu saja setelah menginjak hasil kerajinan mereka.

"Gak sengaja kata lo?! Oh, gue jadi tahu sekarang kalo berita tentang kelakuan anak-anak kelas ini termasuk lo yang notabene sebagai ketua emang kerjanya cuma bikin onar dan gak punya sopan santun, gue makin yakin kalo sikap kurang ajar anak-anak kelas ini semuanya pasti berasal dari kepemimpinan lo yang emang gak tau aturan." Perkataan kakak kelas perempuan itu kian tajam dengan pandangan meremehkan terlebih menyinggung reputasi kelasku yang terlanjur buruk di lingkungan sekolah.

Teman-temanku kini terdiam entah apa yang mereka rasakan, harus kuakui bahwa selama ini peranku sebagai ketua kelas tidaklah berpengaruh untuk perubahan kelas ini, niatku yang ingin mendapatkan nilai lebih seperti yang dijanjikan oleh wali kelasku semakin membuatku bersemangat untuk menjadi ketua terlebih sebagian besar temanku yang tidak begitu ambisius dalam hal nilai. Aku mungkin terlalu optimis pada awal semester mencalonkan sebagai ketua kelas saat sebelumnya ketua kelas kami di kelas X memutuskan pindah sekolah akibat tak nyaman dengan kegaduhan yang teman-temanku sering perbuat, dan saat pemilihan ketua kelas hanya aku dan Raka sebagai calon hingga akhirnya aku terpilih setelah perselisihan yang cukup panjang akibat Raka yang tak terima dengan keputusan wali kelas kami.

Cukup lama aku terdiam tiba-tiba Raka angkat bicara yang kini berdiri di sampingku.

"Kami tahu dan sadar akan hal itu kak, tapi saya ragu dengan nilai kesopanan yang kakak bicarakan sementara kakak sendiri datang kesini tanpa menjelaskan masalah yang kami perbuat dan dengan mudahnya kakak menghina kelas kami hanya karena kelakuan seorang siswi yang berbuat kecerobohan yang menurutnya tidak disengaja." Kata-kata Raka yang terdengar tegas cukup membuat mereka sedikit menurunkan raut emosi.

"Cukup, gue paham. Tapi lo tau kan harus gimana?." Gadis itu mengarahkan pandangannya kepadaku.

"Kapan saya bisa ganti kak?." Aku bertanya memastikan waktu untuk mengganti barang yang telah aku rusak.

"Lusa tembikar itu udah harus ada di meja gue." Kali ini pemuda yang tengah merangkul bahu gadis itu berbicara tanpa ekspresi.

"Tt..ta.pi..?!" aku berusaha menyela perkataannya yang ditanggapi dengan alis terangkat oleh pemuda itu.

"Atau gimana kalo anak laki-laki di kelas kalian tanding futsal lawan kelas gue dan selama pertandingan ketua kelas lo ini harus teriak buat minta maaf." Aku cukup tertegun dengan perkataan terakhir kakak kelas yang satunya lagi, pemuda itu tampak memandang Raka tersenyum mengejek nampak kurang yakin dengan kami, utamanya anak laki-laki di kelasku.

"Aduh kak, saya terima apapun bentuk permintaan maaf yang kakak mau. Tapi, tolong jangan libatkan teman-teman saya." Aku berusaha memohon agar teman-temanku tak terlibat dengan kecerobohan yang diriku perbuat.

earthenwareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang