Bagian VII : Kemungkinan Lain

57 5 1
                                    

'Huh, hah, huh huuh' dum dum dum. Kakiku terus menjejaki mengelilingi lapangan futsal tempat berlangsungnya pertandingan harga diri antara anak-anak kelasku dengan kakak kelas. Saat ini sudah masuk menit terakhir pertandingan tersebut dan aku tak menghitung lagi jumlah putaran yang berhasil kulalui, sedang suaraku sendiri hampir habis karena meneriakkan kalimat yang disuruhkan itu. Awalnya aku merasa sangat malu, terlebih saat melihat sekeliling lapangan ternyata banyak juga dipenuhi anak kelas lain, bahkan kakak kelas lainnya menyempatkan diri untuk menonton, seketika nyaliku menciut, pun suaraku mencicit bagai anak tikus yang terjepit. Tak ada satu pun orang yang melepaskan pandangannya kepadaku, aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam berusaha menulikan diri dari beberapa sorakan yang mungkin sedang mengejekku. Ah, sudahlah, aku tak peduli.

Bruuk.. aku terduduk dan membaringkan diri begitu saja di sudut lapangan, sementara peluh tak berhenti membanjiri diriku. Gila, pertama kalinya aku berlari se-lama ini tanpa sedikit pun berhenti. Aku menutup mata dan tersenyum, harusnya aku bangga dengan rekor ini, haha.

"Lo gila, ya" seseorang kurasakan tengah berdiri di depanku melemparkan sesuatu kepadaku, tepat mengenai pipiku, dingin.

"Woah." Kontan saja aku terbangun dan tanpa ba-bi-bu lagi mereguk sebotol minuman dingin itu hingga tersisa seperempat bagian saja. "ya Tuhan, terima kasih atas nikmat-Mu" mataku berbinar binar bahagia merasakan kesegaran yang baru saja aku reguk.

"Ckck, mau sampai kapan lo se-gila itu" seseorang yang melemparkan minuman tersebut melenggang begitu saja, berlalu dari hadapanku. Tampak ia memakai seragam futsal kelasku. Uh! Si ngambis ternyata. Aku kemudian bangun hendak menyusulnya.

"Oy, Raka. Tunggu" baru saja aku memanggilnya, satu meter dari depanku sudah berdiri kakak kelas yang entah kapan datangnya. Ugh! Akibat kebanyakan melamun ini.

"Lo" tegur seseorang dengan telunjuk yang diacungkan ke arahku. Menyebalkan sekali gaya nya itu, aku tak suka ditunjuk seperti itu tahu, sama sekali tidak punya penghargaan.

"Ya, saya kak?" aku berhenti mendemul dalam hati dan menunjuk diriku sendiri untuk memastikan bahwa aku-lah yang dipanggilnya.

"Ya, iya lah b#go! Sini lo!" please! Apa-apaan umpatannya itu. Cih, dasar kakak kelas paling tidak tahu diri. Aku melangkah maju mengikuti beberapa dari kakak kelas tersebut, kulihat yang lainnya hanya membisu saja dengan wajah jutek yang terpasang.

"Ada apa ya kak? Bukannya tugas saya udah selesai? Pun hasil pertandingannya seri kan, kak" ujarku heran. Ya, hasil pertandingan futsal tadi ternyata berakhir seimbang dan menurutku tak ada lagi yang perlu dipermasalahkan antara anak-anak kelasku dengan kakak-kakak yang tengah berjalan di depanku. Toh, tak ada yang dikalahkan, pun aku merasa bersyukur dengan hasilnya.

Tak ada jawaban, mereka terus saja melangkah. Kalau boleh kutebak, mereka yang ada di depanku ini adalah kakak kelas yang sempat datang ke kelasku pernah, minus kakak si lem kayu itu. Entah kemana dia, aku rindu dengan tampang juteknya itu, sangat rindu untuk memasang raut serupa kepadanya, haha.

Bug! Ah, ada apa ini? Kepalaku tanpa sengaja membentur punggung yang kuperkirakan basah karena keringat namun aromanya astaga, aku tak mengerti kenapa aku malah makin mengendusnya. Segar sekali, ya Tuhan.

"woy! Udah cukup ya tembikar gue lo injak, ngapain lo ngendus-ngendus punggung gue?" seketika aku tersadar, terlonjak dan melangkah mundur dengan tingkah bodohku kali ini. Astaga! Aku memang benar-benar bodoh.

"m-ma maaf, aku. Saya nggak sengaja kok, kak" aku membela diri, di depanku terlihat kakak kelas lainnya menggelengkan kepala, memasang wajah yang tak bisa kupastikan apakah mereka sedang marah atau tidak. "sekali lagi, maafkan saya kak. Ampun kak" aku menunduk malu merutuki kebodohanku yang tak tahu kapan akan berakhir.

"Oke, kali ini, kita pengen membicarakan sesuatu yang penting kepada lo, pokoknya pasang telinga lo baik-baik" seseorang tiba-tiba menyela, terlihat kakak yang memakai kacamata. Ah, dia yang di kantin itu.

"Siap, kak." Aku masih menunduk, perasaanku tiba-tiba merasa gugup. Duh, kenapa harus sekarang sih?! Perutku sakit pula, aku butuh toilet.

"Langsung aja ya. Begini, kami semua sepakat bahwa lo udah bebas dari tanggung jawab lo karena insiden itu, dan karena anak-anak kelas lo udah nerima tantangan kami, nggak jadi masalah buat kami, yah walaupun hasilnya belum memuaskan sama sekali sih, dan atas ketidak puasan itu, kami minta anak-anak kelas lo buat tanding lagi, kapan tepatnya belum kami tentuin, soalnya sekolah juga bakalan sibuk buat ujian semester nanti. Lo tunggu aja kabar selanjutnya"aku mendongak memasang ekspresi bertanya. Ya ampun, yang benar saja, aku harus bilang apa ke teman-temanku nanti?! Argh, ada-ada saja kakak-kakak nan menyebalkan ini. "ada pertanyaan?" tanya kakak kelas berkacamata itu. "Tidak ada kak" tukasku cepat, aku sudah malas untuk membantah ataupun berpikir. Aku baru sadar tengah berada di depan kelas kakak-kakak ini. Ugh! Pantas saja kakiku terasa capek karena letak kelas ini dan lapangan futsal terbilang jauh.

"Udah, lo boleh pergi" kakak-kakak kelas itu masuk begitu saja ke dalam kelas mereka setelah memutuskan mengusirku, tak terkecuali kakak berkacamata itu. Ah, kenapa dia masih disitu? Apa jangan-jangan dia menungguku sampai aku pergi? Woaah.

"K-kka.."

"Ratna, ngapain kamu duduk disitu?" Baru saja aku ingin bertanya mengapa ia masih berdiri di depanku, tiba-tiba ia berjalan melewatiku menghampiri seorang yang kuyakini teman sekelasnya yang tengah duduk di depan kelas menghadap ke lapangan sekolah. Aku hanya menelan liur hingga tersedak karena ke-ge-er-an ku. Haha, dasar. Rutukku kepada diri sendiri.

+++

earthenwareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang