Bagian VIII : (Bukan) Diriku yang Baru

15 3 0
                                    

Hari-hariku kembali berjalan seperti biasa setelah kejadian melelahkan itu, tak ada lagi kakak kelas yang kembali datang ke kelasku meluapkan emosinya, pertandingan ulang yang sempat dibahas pun entah kemana jadinya, seolah kakak-kakak kelas itu telah lupa.

Ya, sekarang sudah enam bulan sejak kejadian itu, keseharianku di sekolah sama membosankannya dengan hidupku, sekarang liburan semester, bisa ditebak semester kemarin aku mendapatkan peringkat 14 di kelasku, bagiku saat ini tak ada artinya lagi, aku senang mendapati Rakantara kembali kepada posisinya sebagai yang pertama, rencananya juga semester dua nanti aku ingin melepaskan jabatanku sebagai ketua kelas. Mengapa? Tak ada alasan, aku hanya tak ingin lagi, itu saja, mungkin nanti aku akan mengarang alasan yang masuk akal.

Dua hari lagi sekolah akan memulai aktivitas belajar mengajar, entah aku harus merasa sedih atau senang, selama liburan aku hanya menghabiskan waktuku di kontrakan menunggu ibu sepulang kerja, aku sempat mengajukan diri kepada ibu untuk menggantikannya saja, namun ibu menolak dengan alasan lebih baik aku belajar di rumah saja. Sebelumnya aku juga sempat memberitahu ibu terkait hasil pelajaranku di sekolah, dan ibu meyakinkanku bahwa tidak apa-apa bagaimanapun hasilnya, meskipun aku sangat yakin ibu kecewa dengan diriku.

Membosankan sekali, aku sangat bosan, aku ingin berjalan-jalan, tapi badanku rasanya susah sekali diajak kompromi untuk bergerak sekali saja, huft. Aku kembali berpikir bisa-bisa aku mati dalam kebosanan di kontrakan ini sedang hari masih siang, sejenak terlintas di benakku untuk pergi ke suatu tempat.

Aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi mengguyur badanku dengan dinginnya air, rasanya seperti aku belum pernah mandi seumur hidup, segar sekali. Segera setelahnya aku bersiap-siap keluar, berbekal pakaian seadanya di tubuhku dengan polesan bedak tipis, aku melangkahkan kaki keluar kontrakanku sambil berjalan ringan menyusuri gang tempatku tinggal, kira-kira sepuluh meter aku berjalan, telah kudapati jalan raya tepat di depannya, aku berdiri di samping trotoar menunggu angkot yang akan datang. 20 menit aku menunggu namun hanya angkot yang terisi penuh yang melintas, sedangkan cuaca kulihat perlahan menjadi mendung, entah apa yang sedang direncanakan semesta, aku berharap hari ini tidak akan hujan.

Sial sekali jika sekalinya aku melangkahkan kaki keluar di hari liburku dan hujan mengikuti. Tak lama kemudian aku akhirnya mendapati angkot yang kuinginkan, sekitar 15 menit, akhirnya aku sampai di tempat yang kutuju, kemana lagi kalau bukan perpustakaan kota haha, aku sedang kehabisan buku bacaan, juga aku ingin mengembalikan buku-buku yang telah kubaca selama liburan, dengan mood yang perlahan membaik aku berlari-lari kecil menuju perpustakaan, akan tetapi alangkah cerobohnya diriku menyadari bahwa perpustakaan kota sedang tutup, aku baru ingat ternyata hari ini hari sabtu.

Aku sangat kesal sejadi-jadinya, pun langit semakin mendung, rasanya aku ingin menangis saja. Mungkin aku terlihat seperti orang bodoh yang berlari ke sini di hari sabtu, bodoh sekali memang. Dengan kepala yang menunduk aku berjalan terdiam menuju ke jalan raya untuk kembali menunggu angkot, ada baiknya memang jika aku membatu saja di dalam kontrakan.

Saat aku berjalan, dalam jarak pandangku terlihat seseorang yang familiar pun sedang bersepeda dari arah yang berlawanan, aku bertanya-tanya dalam hati siapakah itu, semakin dekat terlihat jelas bahwa seseorang itu adalah Rakantara. Woah, mimpi apa aku akan bertemu dia di depan perpustakaan kota. Aku berpura pura mengalihkan pandangan dan tidak melihatnya, namun rupanya ia mengenaliku dengan setelan compang-campingku ini, ia menghentikan laju sepedanya dan tanpa berbasa-basi menanyaiku

"Ngapain kamu di sini?" Tanya Rakantara menghentikan langkahku.

"Anu, aku hanya berjalan-jalan dari rumah teman di sekitar sini hehe." Aku menyengir bodoh menanggapi pertanyaan Rakantara.

"Oh ya? Bukannya kamu dari sana ya?" Tunjuk Rakantara ke perpustakaan di seberangku.

"Ah tidak, kebetulan saja itu rumah temanku memang di sekitar sini tau, itu itu!" Aku menunjuk salah satu rumah dinas yang berada tepat di samping perpustakaan itu.

"Ya ya, aku tahu kamu bohong haha, sudahlah." Ejek Rakantara kepadaku.

"Huh, terserah apa katamu, aku ingin pulang saja." Aku membalikkan badanku melangkah menjauhi Rakantara yang menjengkelkan itu, bisa-bisanya dia mengejekku.

Baru beberapa langkah aku berjalan tiba-tiba hujan yang sangat keras menimpaku, aku seketika panik dan berlari menuju salah satu pohon di trotoar, aku sangat panik karena takut buku yang kubawa akan basah, namun di bawah pohon ini pun aku merasa belum cukup terteduhi, air hujan masih merembes di sela-sela ranting pohon dan mengenai kepalaku. Aku hanya bisa memeluk tasku yang berisi buku ke dalam bajuku.

Hujan semakin deras, ditambah dengan desakan guntur dan kilat. Aku takut sekali. Terdapat angin yang menambah ketakutanku misal tiba-tiba pohon ini tumbang dan menimpaku.

"Dani! Dani!" Panggil seseorang di seberang jalan, tepatnya di bawah teras perpustakaan. Dia, Rakantara memanggilku dan mengisyaratkan tangannya untuk berteduh di sana.

"Bagaimana caranya?! Aku takut kebasahan." Teriakku kepada Rakantara.

"Yaudah lari aja, dibanding kamu kena bahaya pohon itu tumbang!" Balas Rakantara meneriakiku.

Tanpa pikir panjang karena sebenarnya aku pun takut, aku segera berlari menuju tempat Rakantara berteduh, aku berlari sekencang-kencangnya, hingga sampai tepat di teras perpustakaan. Pakaianku sudah sangat basah, kerudungku pun.

"Lagian ngapain kamu ke pohon sih? Dasar bodoh. " Gerutu Rakantara, aku ingin mendebatnya tapi dingin menusukku hingga aku hanya bisa terdiam.

"Dingin. " ungkapku.

"Di sini ga ada penghangat atau apapun itu, jadi jangan berharap apa-apa." Gerutu kembali Rakantara entah yang ke berapa kalinya, ingin sekali aku menendangnya jika saja aku tidak kedinginan begini.

Karena kerudungku sangat basah, dengan segera kulepas di hadapan Rakantara, ya, akhir-akhir ini terbersit dalam pikiranku untuk berhenti memakai kerudung, aku tidak tahu alasan jelasnya, aku hanya berpikir bahwa pemikiranku saat ini belum bisa sejalan dengan kerudungku.

"Ga salah kamu ya?" Tanya Rakantara kepadaku melihatku melepaskan kerudung di hadapannya.

"Ga usah banyak tanya." Lirikku kepada Rakantara sembari mengeringkan rambutku.

"Ya sudah sih, itu bukan urusanku." Jawab Rakantara datar dan memandangi hujan yang tak kunjung mereda.

Sekarang sudah memasuki jam 3 dan kulihat kendaraan jarang melintas, seketika aku khawatir bagaimana nanti aku akan pulang.

"Kenapa kamu?" Tanya Rakantara melihatku menunduk memainkan tetesan air dari bajuku di lantai.
"Aku mau pulang." Kataku memandang Rakantara.

"Yaudah pulang sana kalo kamu emang suka hujan-hujanan." Sinis Rakantara kepadaku.

"Kamu kenapa sih? Dari tadi kamu bisanya menggerutu saja di depanku, dasar gila!" Rakantara yang mendengarnya seketika memandangku tajam, lalu sedetik kemudian tertawa.

"Lah kamu kenapa ketawa?!"

"Nggak nggak, nggak ada apa-apa."

"Terus?"

"Lucu aja, kenapa ya aku menggerutu dari tadi."

"Ck, dasar."

"Dani." Panggil Rakantara.

"Ya?" Jawabku.

"Apa kamu membenciku?" Tanya Rakantara datar.

"Benci? Mana ada! Aku ga pernah benci kamu, yang ada mungkin aku benci dengan diriku sendiri." Aku menunduk menjawab pertanyaan Rakantara.

Rakantara hanya terdiam, tanpa aku sadari tangan Rakantara menggenggam tanganku. Aku yang terkaget dengan perlakuan Rakantara entah kenapa hanya membiarkannya menggenggam tanganku. Ini pertama kalinya aku berpegangan tangan dengan laki-laki, ya rasanya nyaman, selayaknya genggaman yang bisa memberiku rasa aman di tengah dinginnya hujan ini.

\\\\\\\\

Haloo teman-teman semuanya! :'D
Terima kasih banyak bagi yang sudah menunggu dan baru saja membacanya ya :D
Mohon maaf apabila terdapat keterlambatan huhuhu.
Jangan lupa jaga kesehatannya yaa <3
Aku cinta kalian ><

earthenwareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang