8. Memar, lagi?

337 22 6
                                    

"Aku kira kamu beneran bisa liat setan" ucap Alvian pelan menatap ke arah depan.

Safira tertawa renyah. "Ya gak mungkinlah! Aku ini takut sama yang begituan! Kalo beneran bisa liat. Aku udah kabur dan ngumpet di tempat dimana setan gak bisa aku liat!"

Alvian terdiam cukup lama memikirkan ucapan Safira. Bagaimana kalau Safira tahu bahwa dirinya bisa melihat 'mereka'! Bahkan berteman dengan 'mereka' yang Safira sebut setan! Padahal tadi ia sangat senang jika benar Safira bisa melihat 'mereka'. Itu berarti Alvian merasa tidak sendirian bila 'mereka' menampakkan diri saat berdua.

"Kak Al, kenapa?" Tanya Safira melambaikan tangannya didepan wajah Alvian.

Lamunan Alvian terbuyar, dia memiringkan kepalanya menatap Safira sambil tersenyum kecil. "Gak papa"

•••

Alvian menggeram kesal membuka pintu mansion dengan kasar. Nafasnya memburu dengan mata tajam dia menatap sekitar mansion.

"BUNDA!"

"Hei! Dilarang memanggil Bunda dengan intonasi tinggi!" Omel Bunda Bintang menatap tajam balik mata Alvian. Bintang baru saja dari belakang mansion mengurus beberapa hal tentang pekerjaan. Tapi mendengar panggilan Alvian, dia sedikit terkejut juga menggeram. Bintang paling tidak suka jika anak-anaknya memanggil orangtua dengan intonasi yang tinggi.

"Maaf" Hanya kata itulah yang keluar dari mulut Alvian setelah ia menormalkan kembali nafas dan emosinya.

Bintang menghela nafas pelan. "Lain kali jangan kayak gitu. Bunda gak suka" ucap Bintang lembut menghampiri Alvian. Sedangkan Alvian menggangguk sambil menunduk karena mengetahui kesalahannya.

"Ada apa, sayang? Kenapa kamu seperti marah begitu?"

Mengingat tujuan awalnya membuat Alvian kembali emosi. "Siapa orang yang Bunda kirim buat mantau Safira?"

Setelah beberapa hari ke belakang Alvian memang meminta bantuan pada Bintang untuk memberinya beberapa pengawal. Pengawal tersebut bekerja untuk memantau Safira dari jarak jauh. Kemana pun Safira pergi. Pengawal itu harus mengikutinya. Karena Alvian ingin tahu siapa orang yang sudah berani melukai Safira beberapa waktu lalu.

"Zoni dan Fateh" jawab Bintang dengan kerutan di keningnya.

"Hanya mereka berdua?"

"Ya"

"Aku mau bicara sama mereka, Bun"

Bintang menggangguk pelan walau masih bingung. "Ikut Bunda".

Dan disinilah kini Alvian berada. Di sebuah ruang kerja dengan luasnya hampir setara dengan kamarnya. Ruang kerja ini milik Bintang, sedari dulu Bintang memang memiliki pekerjaan. Saat kuliah Bintang mendirikan Perusahaan Badan Pengawalan International atau International Bodyguard Agency. Sering di singkat dengan IBA. Perusahaan swasta tanpa ikatan pemerintah, tapi sudah bertaraf internasional. Bahkan sering kali pemerintah meminta bantuan pada IBA untuk menangkap teroris atau pun mafia.

Perusahaan ini dia dirikan dengan dukungan keempat sahabatnya. Tapi setelah para sahabatnya menikah, mereka memilih untuk mengundurkan diri. Mereka ingin fokus menjadi ibu rumah tangga, tetapi mereka memiliki sampingan kerja untuk menghilangkan bosan. Perusahaan ini juga akan Bintang berikan pada Cakra, anak pertamanya.

Back to topic

Alvian berdiri berhadapan dengan 2 anak buah sang Bunda yang bekerja untuk memantau Safira. Ia menatap tajam kedua orang itu yang sudah ketakutan. Aura yang di keluarkan oleh Alvian sama persis seperti Bintang jika marah.

"Apa yang kalian dapat selama memantau Safira?" Tanya Alvian dingin.

Keduanya terdiam. Tidak ada yang menjawab karena mereka tidak mendapatkan apapun. Mereka tidak mendapati orang untuk di curigai. Karena selama mereka mengawasi Safira, tidak ada yang mengganjal. Mereka berdua tidak pernah melihat Safira dilukai orang.

CF2 # No Freak(Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang