Sapaan Pertama

29 0 0
                                    

Hujan.

Sudah nyaris 3 jam aku dan beberapa orang di kesekretariatan -termasuk kamu- menunggu hujan reda. Tapi, Tuhan tampaknya tak kunjung membuat keinginan itu terjadi. Alhasil, dengan perut keroncongan, aku memilih tidur-tiduran di karpet kesekretariatan sembari menunggu cuaca berganti.

"Kamu laper, nggak?" tanya salah satu temanku yang juga rebahan di atas karpet.

Aku menoleh ke arahnya, "Iya, lumayan. Mana hujannya nggak reda-reda."

"Tadi aku baca perkiraan cuaca. Katanya sih, ini hujan bakal sampai jam 10. Aduh, asli, nggak ada makanan pula. Laper."

"Hah?" Aku melirik jam di dinding, "seriusan sampai jam 10 malem? Gila. Masih lama dong..."

"Makanya," balas temanku dengan cepat. 

"Eh, eh, bocor! Atap kesekret bocor!" Salah satu temanku berteriak histeris. Tangannya menunjuk atap yang persis berada di posisinya sekarang.

"Kegeser itu paling sengnya," dari atas sofa, kamu menyahut dengan kencang. "Bentar, aku baikin."

"He, tapi hujan, lho."

"Aku bawa jas hujan," balasmu.

"Terus kenapa nggak pulang?" tanya salah satu temanku padamu. Kamu cuma tersenyum lebar dan memilih untuk segera memakai jas hujan yang ada dalam tasmu. Tanpa basa-basi, kamu segera keluar dari kesekretariatan dan berjuang memperbaiki seng yang tergeser akibat hujan.

Aku menghela napas panjang. Aku sudah terlalu lelah untuk menunggu hujan reda. Aku rindu kamar kosku. Tetapi, hujan menahan langkahku pulang.

"Kayaknya aku mau pulang, deh."

Aku berdiri dari posisiku, kemudian berjalan mengambil tasku yang berada di atas sofa. Beberapa pasang mata menangkap gerakanku.

"Serius? Ini hujannya deres, lho. Kamu mau hujan-hujanan?" tanya salah satu temanku yang hanya aku balas dengan anggukan cepat. "Aku nggak betah, pengen tidur di kos."

"Tiati nyetir motornya," sahut yang lain. "Jangan ngebut. Uang kasmu belum lunas."

"He, dasar," balasku sembari menyampirkan tasku di bahu. "Aku tak pulang dulu ya, rek. Duluan!"

"Hati-hati!"

Meskipun sedikit ragu, pada akhirnya aku tetap memutuskan untuk nekat melewati hujan demi pulang. Selain karena rindu pada kasurku, aku juga lapar. Kalau terus-terusan diam di kesekretariatan, bisa-bisa maag yang kupunya malah kumat. 

Setelah menutup pintu kesekretariatan himpunan, aku menghela napas. Tampaknya, bulir hujan justru semakin besar. Mau tidak mau, aku akan betul-betul mandi hujan jika nekat untuk pulang. Tapi, ya sudah, lah. Demi kasur dan isi perut, apapun akan aku lakukan.

Baru beberapa langkah keluar dari ruang himpunan, aku melihatmu turun dari tangga kayu yang disandarkan pada dinding kesekretariatan. Sepertinya, tak butuh waktu lama bagimu untuk memperbaiki genteng yang bergeser. 

"Eh, aku pamit duluan, ya," sapaku sembari tersenyum tipis. Masa bodoh senyumnya terbentuk atau tidak--yang penting, aku menyapamu, kan?

"Eh, iya," balasmu sembari menoleh ke arahku. Langkahmu terhenti. "Kamu pulang hujan-hujanan gini? Serius?"

"Iya," aku mengangguk cepat. "Duluan, ya. Takut makin hujan." Aku tersenyum lagi, kemudian  bersiap melangkahkan kedua kakiku meninggalkan kamu yang berjalan ke arah berlainan.

"Hujannya deres. Jadi, hati-hati," balasmu dengan lirih.

"Eh?" Baru maju satu langkah, aku menoleh ke belakang. Aku kira, kamu masih mengajakku mengobrol. Tetapi, ternyata kamu sudah bergerak beberapa langkah dari posisi semula kita berpapasan. Kalau tidak salah tangkap, aku memang masih mendengar suara lirihmu. Tapi ... ah, apakah aku berhalusinasi?

Aku menghela napas, lantas mencoba mengabaikan sahutan lirihmu dan kembali melanjutkan langkahku yang tertunda beberapa sekon saat bertukar sapa denganmu. 

Eh, sebentar-sebentar.

Tadi, kok bisa kita bertukar sapa tanpa rasa kaku???

Kamu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang