Tanda Tanya: Akhir

23 0 0
                                    

Kita tengah bertukar pikiran tentang tugas kuliah. Kebetulan, aku dan kamu sama-sama sekelas di mata kuliah ini. Jadi, untuk mempermudah diskusi, kita memutuskan untuk bercakap via suara. Sayangnya, di tengah-tengah diskusi, aku mendadak lapar.

"Ditunda bentaran boleh, nggak? Aku laper," aku menepuk perutku sendiri. "Mau keluar dulu beli makan."

"Tapi ini kayaknya mau hujan, lho. Kamu mau nekat beli makan sendirian?"

"Ya ... nggak papa, sih. Biasa makan sendiri juga, kan?"

"Tak temenin, mau?"

Aku refleks mengangguk meskipun kamu tak melihat. "Boleh aja sih. Tapi kalau hujan nggak masalah, kan?"

"Otw!"

--

Kamu selalu hadir di berbagai macam situasiku, mulai dari paniknya situasi organisasi, mumet kerjaan, bahkan sampai ke hal-hal sensitif yang menjadi awal mula kita mengobrol banyak di car free day.  Kamu selalu hadir menemani setiap sisi di hariku, dan aku tak keberatan sama sekali. Anehnya, aku mampu seterbuka ini dalam waktu cepat, ya, hanya di depanmu. Kalau ditanya kenapa harus kamu, aku juga tak tahu jawabannya.

"Mikirin apa, sih?"

Tahu-tahu, motor dan cengiran khas dirimu sudah muncul persis di depanku yang tengah duduk di pinggir jalan. Lamunanku seketika terhenti. Senyum lebar ku pasang di wajah. 

"Mikir kenapa gajah harus namanya gajah?" jawabku asal sembari naik dan duduk di jok motormu.

"Kalau namanya jerapah, berarti dia jerapah," balasmu tak kalah asal. Aku tertawa, kamu pun juga. Seketika, motormu melaju di jalanan dibarengi dengan obrolan garing khas kita yang belum berhenti juga.

Satu hal yang aku sadari lagi, kamu mampu membuatku berekspresi bebas dan menjadi diriku sendiri tanpa aku perlu merasa malu dengan kekurangan diriku.

--

Di perjalanan pulang menuju kos, aku dan kamu sibuk berdebat mana yang duluan muncul: Ayam atau telur. Memang, obrolan kita suka sekali njomplang. Habis berdiskusi A, ujung-ujungnya memperdebatkan masalah Z.

"Eh, boleh tanya?" tanyamu sembari melihat wajahku lewat spion motor.

"Apa?" balasku dengan cepat.

"Selama kamu di sana," kamu menjeda ucapanmu sebentar, "ada kepikiran apa aja?"

Aku mengerutkan keningku, mencoba kelihatan sok berpikir serius. "Kepikiran pengen bakso sama tiba-tiba kangen ayam dekat kos," jawabku. "Kenapa?"

"Nggak ada niatan kangen aku, gitu?" tanyamu dengan nada guyon

Aku tertawa pelan, lalu menepuk bahumu perlahan. Pertanyaanmu entah kenapa sedikit membuat perutku tergelitik. "Kok nanyanya gitu, sih?"

"Ya soalnya aku ngangenin," jawabmu masih disertai cengiran khas dirimu yang masih kelihatan dari spion. "Kamu kangen, nggak, sama aku? Sama motorku? Sama ceritaku?"

Ah. Aku paham ke arah mana kamu membawa arah obrolan kita kali ini. Tetapi, aku tidak ingin langsung ke inti jawaban dari pertanyaanmu tadi. Sayang seribu sayang, aku bukan tipikal yang mau dan secara sukarela menjawab pertanyaan dengan konteks 'kangen', terlebih dari laki-laki. Trauma.

"Kalau kangen, kenapa? Kalau enggak, kenapa?" Aku mengulas senyum ala kadarnya. "Biar aja jadi rahasia Tuhan, kamu nggak usah kepo," sambungku lagi.

"Aish, nggak seru," jawabmu sembari menggerutu. "Terus aku harus gimana biar tau jawaban kalau kamu tuh sebenernya kangen apa enggak sama aku?" 

Kamu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang