Aku menggulung lengan pakaianku sembari mencoba mengatur deru napas yang tak kunjung teratur. Hari ini, aku berniat membawa beberapa barang yang akan aku sumbangkan pada sebuah event yang kebetulan menerima sumbangan pakaian bekas untuk teman-teman yang terkena bencana alam. Kebetulan, lokasi pengumpulannya berada tepat di dekat kediamanku. Jadi, dalam rangka menurunkan kalori, aku sengaja berjalan kaki sembari membawa dua tumpuk kardus air mineral berisikan pakaianku yang akan aku sumbangkan.
"Eh, oi!"
Karena jalanan sepi dan kebetulan aku merasa familiar dengan suara yang barusan menyapa, aku refleks menoleh. Ternyata ada kamu dan motor tua milikmu. Senyummu terukir lebar tepat ketika netraku berjumpa dengan milikmu.
"Hai," sapaku. "Mau ke mana?"
"Habis dari kos temen," jawabmu sembari memberhentikan motor di sebelahku. "Kamu sendiri mau ke mana? Ngapain bawa kardus begini sendirian? Mau dibuang?"
"Oh," senyumku terangkat sedikit, "mau disumbangin buat acaranya fakultas sebelah. Mau aku sumbangin mumpung stok baju yang nggak terpakai masih banyak."
"Nggak berat?" tanyamu.
Aku meletakkan kedua kardus yang kubawa di pinggir trotoar, "Ya berat. Tapi aku mikirnya sekalian olahraga angkat beban gitu, sih. Jadinya dibawa santai aja meskipun capek."
"Aku anter, mau?"
Aku melongo. "Hah? Ngapain?"
"Kasihan kamu bawa kayak gitu sendirian. Mana dua kardus, pula. Ntar patah pinggang," sahutmu diakhiri kekehan ringan.
"Ih, nggak usah, tau," balasku sembari tertawa pelan. "Aku bisa, kok. Serius!"
Kamu menepuk jok belakang motormu. "Naik, dah. Masih ada kurang lebih 200 meter lagi. Kalau naik motor bisa jauh lebih cepet."
"Ini beneran?"
"Ya masa tipuan, sih?"
Setelah bermenit-menit beradu argumen denganmu, pada akhirnya aku menyetujui ajakanmu. Ucapanmu memang sedikit banyak benar. Setidaknya, aku tidak terlalu merasa lelah mengangkat beban dua kardus berisikan pakaian seorang diri. Ya, cukup aku akui, kehadiranmu kali ini lagi-lagi membantuku. Hehe.
---
"Besok datang ke acara bakar-bakar, nggak?" tanyamu setelah kedua kakiku berpijak di atas tanah. Lebih spesifiknya lagi, ketika aku dan kamu sudah sampai di depan kosku.
"Nggak tau," jawabku. "Males bawa motor, tapi belum nanya mau nebeng siapa," sambungku. "Kamu sendiri gimana?"
"Mau bareng, nggak?"
"Hah?"
"Mau pergi bareng, nggak?" tanyamu lagi. Kali ini dengan nada yang lebih lantang, tak seperti yang barusan.
"Emang ... boleh?"
"Nggak," jawabmu singkat. "Ya boleh, lah. Ya Tuhan," sambungmu sembari terkekeh pelan.
Aku tertawa pelan sembari mengangguk setuju. "Iya, gampang. Berkabar aja, ntar. Tapi maaf, loh, ngerepotin. Aku nggak enak banget ngerusuhin hidupmu terus dari kemarin."
"Nggak, kok," sahutmu cepat. Senyum tipismu sekarang terlihat. "Kan aku yang nawarin. Berarti, aku nggak keberatan. Nggak usah mikir aneh-aneh, ya?"
Setelah mendengar penuturanmu, rasa ragu yang melanda batinku mendadak sirna. Maka dari itu, senyum tipis sengaja aku ukir di wajah. "Oke. Makasih banyak untuk hari ini dan besok." Aku mengangguk mantap. "Sampai ketemu besok, ya?"
Kamu ikut mengangguk. "Dadah. Sampai ketemu besok."
Selepas kepergianmu, aku menghela napas panjang sembari menepuk-nepuk dadaku sendiri. Kejadian kemarin yang menjadi awal pertemanan kita saja belum selesai aku cerna. Nampaknya, kamu gemar singgah di pikiranku sebelum aku terlelap begitu saja. Dan lagi, malam ini, tampaknya akan menjadi malam renungan yang panjang lagi seperti kemarin.
Ya Tuhan, apakah ini adalah langkah awal? Apakah kita tidak akan merayap lagi? Apakah setelah ini kita bisa menjadi kawan tanpa canggung yang mengawal?

KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu.
RomanceBukan cerita indah kayak sinetron. Bukan cerita penuh haru-biru kayak film-film. Cuma cerita manusia biasa yang selangkah lebih unggul untuk dekat dengan sosok yang hanya ada di mimpi-mimpinya.