Merayap

22 0 0
                                    

Aku duduk di tepi jalan sembari mengatur deru napas yang tak beraturan. Meskipun sudah berusaha untuk meredakan penat dan gelisah yang melanda, aku tak menemukan perubahan yang signifikan. Sedikitpun tidak.

Niatku di pagi ini adalah sengaja membuat tubuhku lelah dengan tiada berhenti jogging. Aku sengaja begini, biar setibanya aku di kamar kos, aku langsung merebahkan tubuhku dan beristirahat. Tapi--sial. Berolahraga juga tak sanggup membuat pikiran jelekku enyah dari kepala. 

Aku butuh kawan mengobrol. Tapi, siapa orang yang bisa aku ajak mengobrol lama di tengah keramaian car free day ini?

Aku mendengar ada seseorang yang memanggil namaku dari kejauhan. Aku mencari si arah suara, ternyata ada kamu yang berjalan mendekat dengan handuk kecil di leher dan dua botol air di tangan.

"Mau air?"

Aku mendongak, lalu mendapati kamu di sana tengah tersenyum ke arahku. Sebotol air mineral turut kau sodorkan selain senyum khas ala dirimu. Aku sempat terpaku selama beberapa detik sebelum pada akhirnya kembali ke dunia nyata dan sebuah fakta kalau hari ini, detik ini, kamu berdiri di depanku sembari menyodorkan sebotol air mineral dan menyapaku terlebih dahulu.

Sebetulnya, ada sedikit rasa bingung karena ... ya, ada angin apa kamu menyapaku terlebih dahulu? T-tapi ... ah, ya, mungkin saja karena sudah sering bertemu, ia menghapal wajahku meski dari kejauhan.

"Makasih, tau aja lagi haus." Aku tersenyum seadanya sembari mengambil botol yang kau sodorkan. "Beli dua buat dikasih gebetan, ya?"

Tanpa diminta, kamu ikut duduk di sebelahku. Sembari menyamankan posisi, kau menoleh, "Nggak. Dari tadi udah bolak-balik lari, dan kamu masih sendirian di sini. Terus, ya, inisiatif aja gitu buat ngasih minum. Toh, kalau kamu pulang atau nggak ada di sini, minumnya juga bakal keminum, kan?"

Aku tertawa pelan sembari mengangguk. "Makasih, ya. Kirain kamu nggak kenal aku, soalnya jarang nyapa kalau ketemu di sekret." Ah, langsung berterus terang tidak masalah, kan?

"Aku tau kamu, kok. Kadang sering papasan pas ganti kelas kuliah. Cuma ya mungkin, kamu aja yang nggak sadar," jawabmu disertai kekehan ringan. "Sendirian aja?"

"Lagi pengen aja," jawabku. "Kamu juga sendirian?" tanyaku balik sembari menoleh ke arahmu.

Sembari mengusap keringat yang mengalir di pelipismu, kamu mengangguk. "Yoi. Nggak tau kenapa, tiba-tiba pengen aja olahraga sendirian."

"Oh," responku seadanya. Pandanganku kini mengarah ke kerumunan remaja yang tengah bersenda gurau di seberangku.

"Kenapa?"

Aku menoleh, "Apanya?"

"Kamu," jawabmu. "Auranya beda."

Aku mengerutkan keningku, mencoba mencerna baik-baik responmu barusan. Aura? Aura apa yang berbeda?

"Memang, biasanya aku gimana?" tanyaku padamu.

"Ceria," jawabmu seadanya. "Mau ngobrol, nggak? Kebetulan aku juga lagi pengen istirahat. Itung-itung, sekalian nemenin kamu, kan?"

Aku memiringkan tubuhku, kemudian melempar tatapan penuh selidik. Oke, aku cukup lega kalau kita sama-sama saling mengetahui dan memperhatikan meskipun enggan berbicara. Tapi, entah kenapa, kalimatmu barusan terdengar aneh di telingaku. Satu, kenapa kamu bisa tahu kalau auraku berbeda? Dan ... kedua, kenapa kamu repot-repot mau mendengarkanku? 

Atau ... sebetulnya, itu cuma kalimat biasa yang terlontar dari bibirmu? Ah, sebentar, aku mendadak ragu.

"Memang ... mau dengerin aku cerita?"

Kamu tersenyum lebar sembari mengangguk. "Kenapa nggak?"

"Panjang dan ribet, loh," jelasku dengan singkat. "Takutnya kamu malah kelamaan ngobrol sama aku dan nggak jadi olahraga."

Kamu tertawa pelan. "Santai aja. Kan, aku yang nyamperin dan ngajak kamu ngobrol. Otomatis, aku nggak keberatan kalau memang ceritanya nyita waktu dan lama. Emang aku yang pengen ngajak ngobrol. Toh, kalau ketemu, kita nggak pernah ngobrol, kan? Anggep aja lagi mengakrabkan diri," kamu mengulas senyum tipis, "tapi senyamannya kamu aja. Kalau nggak bisa cerita, ya, nggak papa."

Aku menghela napas.

Sebetulnya, kehadiran teman untuk diajak bercerita adalah hal yang sangat aku butuhkan di waktu-waktu seperti ini. Tetapi, Tuhan malah mengirimmu untuk menemaniku berkeluh kesah. Apa memang Tuhan menyuruh kita berkenalan lewat cara seperti ini?

Akhirnya, aku bercerita kepadamu. Tentang perasaan gelisahku, tentang hal yang mengusik ketenangan batinku. Tidak detail, hanya secara garis besar. Dan kamu, di sampingku, menyimak dengan khusyuk.

---

Aku merebahkan tubuhku di kasur. Pandanganku lurus ke arah plafon kamarku. Tubuhku memang beristirahat, tetapi pikiranku tidak. Satu hal yang sejak tadi membuatku sedikit gelisah. Kenapa aku seterbuka itu padamu?

Aku mengusap wajahku dengan kasar. Jujur, aku adalah tipikal yang agak sedikit sulit terbuka pada orang yang jarang bertukar sapa. Tapi, aku tak mengerti. Mengapa kamu sanggup membuatku -yang sulit jujur dengan perasaan diri sendiri- bisa terbuka begitu? Kenapa aku bisa selancar itu berbicara di depanmu padahal yang biasa kita lakukan hanyalah saling bungkam ketika berjumpa?

Aku menghela napas. Di satu sisi, aku memang senang mengetahui sebuah fakta kalau meskipun kita jarang berbicara, kamu masih mengenaliku dan bahkan rela menemaniku sekian lama. Oke, aku memang bersyukur setidaknya rasa kaku dan canggung yang biasa mendadak muncul di dekatmu mendadak hilang. Tapi, kenapa aku jadi ingin terus bertemu dan berbincang denganmu, ya?

Ya Tuhan.

Aku mengusap wajahku lagi.

Aku tidak mengerti dan bingung harus menyesal atau tidak sudah seterbuka itu denganmu, Aku tidak mengerti. Tapi, ada satu hal yang setidaknya masih tidak aku sesali atas obrolan kita tadi pagi:

Kita perlahan bergerak merayap. Saling menyapa, saling bertukar pikiran, meski masih merayap

Kamu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang