2. Latar Belakang

100 14 2
                                    

Ines menempelkan kartunya pada loket keluar TransJakarta, ia berjalan cepat menuruni tangga halte agar cepat sampai tujuan. Dengan langkah yakin Ines memasuki area Rumah Sakit, Ines sudah hafal di luar kepala titik-titik pada bangunan ini, gedung yang hampir setiap hari Ines jamahi ini sudah seperti rumah kedua untuknya.

Beberapa suster tersenyum padanya ketika melewatinya, Ines membalas dengan hal serupa. Ines menatap lurus ke depan, beberapa langkah lagi Ines akan sampai di ruangan tujuannya.

"Hallo, Mbak Ines," sapa suster yang baru saja keluar dari ruangan yang akan Ines masuki.

"Hai, sus," sapa Ines, "Mama baik-baik aja kan?" tanya Ines, secuil rasa khawatir muncul di hati Ines atas pertanyaannya sendiri.

"Baik," jawab Suster ber-nametag Felly di dada sebelah kanannya. Ines lega seketika ia mengucap syukur, "silahkan masuk, Mbak, Ibu lagi tidur," katanya, "saya permisi, ya."

"Iya, sus," jawab Ines, "makasih."

Tak banyak basa-basi lagi, Ines segara masuk ke ruangan mamanya, terlihat wanita kesayangannya terbaring di atas brankar. Perlahan tapi pasti Ines melangkah mendekat ke tempat tidur Mamanya, ia menudukkan sedikit kepalanya seperti biasa untuk mengecup kening Mama beberapa detik sambil memejamkan mata.

Kemudian wajahnya digeserkan agar keningnya sampai ke arah bibir Mama. Seolah Mama mencium kening Ines padahal Mama sedang terlelap.

"Hai, Ma.." sapa Ines, ia duduk dan menidurkan kepalanya di dekat tangan Mama nya yang ia genggam, "kita kapan ya, bisa ngobrol kayak dulu?"

"Ma, aku jarang pulang ke rumah sekarang. Sepi banget di sana, Ma, aku lebih enak disini, bisa ngomong sama Mama walaupun Mama gak pernah respon ucapan aku," Ines menyustrut lendir di hidungnya yang hampir keluar, "aku selalu nunggu waktu di mana Mama sadar kalau masih ada Ines disini. Mama gak kangen Ines apa, Ma?"

Ines menegarkan dirinya sendiri, seperti ini salah satu aktivitas Ines, mengajak bicara Mamanya yang tidak pernah meresponnya. Tapi Ines ga nyerah, Ines juga gak marah karena Mama yang respon Ines.

"Coba kalau dulu kita gak pindah dari Jogja ya, Ma," Ines terkekeh, air mata sudah disudut matanya, "pasti sekarang kita lagi masak di dapur buat makan malem nanti, kita ngobrol bareng, terus malamnya Papa bakal muji masakan yang selalu Mama bilang itu masakan aku, padahal aku cuma ikut motong-motong doang," dada Ines nyesek, ia menangis namun tetap berusaha untuk tertawa sendiri.

"Ma, Ines pengen gak sekolah aja, Ines pengen jagain Mama terus disini. Tapi kalau nanti Mama tau pasti Mama bakal marah sama Ines," Ines mengelus tangan Mama yang urat-uratnya terbentuk di kulitnya, "Ines punya masalah disekolah, Ma. Maaf ya, Ma, Mama selalu di panggil sama wakil kepsek untuk ke sekolah, karena Ines sering Alpha, Ines suka langsung kabur kalau Mama kumat lagi, abis Ines khawatir Ma. Maaf ya, Ma, Ines kadang suka lupa izin ke sekolah kalau lagi pengen jagain Mama...

...Ines juga suka telat, kan sekarang Ines pagi-pagi selalu sendiri. Siapin makanan, padahal kan dulu kalau Ines mau berangkat sekolah Mama udah naro bekel sama sarapan Ines di atas meja, Ines juga suka telat bangun, kan dulu Mama yang selalu bangunin Ines. Mama kapan bisa ke sekolah Ines?"

Ines menarik napas panjang, ia mengubah posisi kepalanya agar bisa melihat wajah lelap Mama, "Mama cantik, Mama juga pinter dalam segala hal, pantes Papa cinta banget sama Mama," Ines tersenyum menatap wajah Mama.

"Mama cepet sehat ya, Ma," katanya, "biar aku gak selalu sendiri kalau ke makam Papa sama Bila."

**

"Bam, ayo makan."

Abam menghentikan aktivitasnya yang sedang mengerjakan PR Bahasa Indonesianya. Ia segera memundurkan bangku dan berdiri untuk keluar dari kamar.

FREDITENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang