Seperti apa yang Abam bilang lusa kemarin kepada Ines, mereka berdua akan belajar bersama di kediaman rumah Ines. Derap suara langkah sepatu di aspal itu memecahkan keheningan di antara mereka berdua. Sebenarnya Ines malas sih mesti belajar gini, ya, mumpung Abam nawarin, gak apa-apa deh.
Siapa tau nanti nilai Ines bagus.
"Lo gak capek, Nes, kalo jalan begini?"
Ines menggeleng, "emang lo capek?"
"Enggak sih," jawab Abam gengsi.
Setelah turun dari halte TransJakarta, untuk sampai ke rumah Ines memang harus berjalan lebih dulu dari gang ke gang. Jauh sih enggak terlalu, cuma kalau jalan ya lumayan capek.
Tak lama, langkah kaki mereka terhenti di depan rumah minimalis namun terkesan mewah, Ines merogoh tasnya bagian depan untuk mengambil kunci pagar, dan membukanya.
"Lo udah izin sama emak lo belum?" Tanya Ines.
"Oh, iya!" Abam heboh, ia merogoh celana sekolahnya untuk mengambil handphone yang ada di sana, kemudian mengetikan sesuatu di layar.
Ines cuma diam, sambil mempersilahkan Abam untuk masuk. Abam melihat sekeliling rumah Ines, kemudian pandangannya jatuh pada motor matic yang ada di dekat pot tanaman paling pinggir.
"Itu motor lo, Nes?"
"Punya bokap, tapi ga pernah di pake lagi," terdengar helaan napas berat dari Ines.
"Kenapa?"
"Gue gak bisa naik motor, lagi juga kayaknya udah ada yang rusak gitu mesinnya."
"Masa naik doang gak bisa."
Ines berdecak sebal, "maksud gue ngendarain," ujarnya sabar, "gak usah ngajak ribut dah."
Abam hanya terkekeh, kemudian mengikuti Ines dan duduk di sofa tanpa dipersilahkan oleh tuan rumahnya, matanya berkeliling melihat foto-foto di dinding ruang tamu, terdapat figura yang lumayan besar yang menampakkan sebuah keluarga berencana.
Abam tersenyum kecil, menebak pasti itu adalah keluarga Ines.
Ines kembali dengan es teh manis dan cemilan yang ia letakkan di nampan, tak lupa ia juga membawa goodie bag yang berisi buku Biologi nya.
Ines duduk berhadapan dengan Abam yang telah mengubah letak duduknya di bawah sofa ketika melihat Ines datang, kemudian gadis itu membuka halaman yang ia lipat sebagai tanda itulah bagian terakhir ia pelajari di sekolah.
"Kok sepi sih, Nes?"
"Iya."
"Itu nyokap-bokap lo?" Abam mengedikkan dagu ke arah figura besar diatas televisi, Ines hanya menjawab dengan dehaman.
"Kalo yang kecil siapa? Adek lo?" Lagi-lagi Ines hanya berdeham mengiyakan sambil membuka-buka buku tulisnya.
"Mereka dimana?"
"Gak di rumah."
"Kok lo sedih--"
"Bam, lo kan kesini mau ngajarin gue," Ines memotong ucapan Abam, ada rasa tak enak hati menyerang hati Abam ketika mendengar getar dalam ucapan Ines barusan.
Abam jadi gagu, "o-oke," katanya sambil mengambil gelas berisi es teh manis buatan Ines. Abam menyeruput teh tersebut, "katanya teh manis, mana dah kaga ada manis-manisnya," celetuk Abam.
Mendengar itu, Ines menampakkan wajah terkejut, kemudian mengambil satu gelas yang di siapkan untuknya dan menyeruput teh tersebut, "apaan sih, lidah lo kali sepet, manis gini," protes Ines, wajahnya kembali seperti biasa sudah tak sedih seperti beberapa detik yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FREDITEN
Novela Juvenil"WOI, INES JELEK!" -Abam "BERISIK LO, BULUK!" -Ines Abam suka meledek, Inez paling tidak bisa tinggal diam kalau diejek. Terlebih lagi kalau di ejek dengan Abam, manusia ter-minus di matanya. Tiada hari tanpa tatapan mata sinis dan membunuh, perbed...