Sinar matahari pagi yang terik sudah menyorot ke arah Abam yang masih duduk di atas motornya di parkiran sekolah. Lelaki itu mengetuk-ngetuk kaca penghalang speedometer di motornya, jam yang melilit di lengan kanan Abam sudah menunjukkan jarum jam dimana 5 menit lagi bel masuk akan berbunyi. Tapi, gadis yang sedari tadi Abam tunggu-pun tak kunjung hadir.
Ini adalah hari pertama Abam bersekolah kembali setelah di skors karena masalah tidak menyenangkan kemarin. Sebenanrnya, Abam gak akan kaget sih, kalau Ines bakal dateng telat juga, tapi Abam cuma pengen ngeliat Ines aja, kangen. Abam tak cukup berani untuk mengirimi Ines pesan semenjak kejadian itu, karena Abam yakin toh Ines pun gak akan membalas pesannya meski ia sedang online.
Setelah menunggu Ines yang tak kunjung datang, akhirnya Abam memutuskan untuk ke kelas duluan. Siapa tahu hari ini Ines memang tak bawa motor. Di sepanjang jalan beberapa orang melihat Abam dengan pandangan tak biasa, ya, mungkin berita tentang berantemnya Abam dengan Bimo dan hukuman untuk Abam itu sudah menyebar luas seantero sekolah.
Abam sebenarnya risih, cuma mau bagaimana lagi?
Derap kaki Abam mendekat ke arah pintu kelasnya, tatapannya beralih pada tempat duduk di barisan sampingnya, tepatnya meja Ines yang kosong. Abam berjalan ke arah tempat duduknya masih dengan mata menelisik ke arah meja Ines yang ternyata tas gadis tersebut-pun tak ada di sana.
Raka menepuk pundak Abam sumringah karena lelaki itu tak duduk sendiri lagi setelah 3 hari menjomblo, "anjir, gue kangen."
Abam melihat Raka dengan tampang jijik, "kangen duit lo, traktir dong," Raka tertawa, "enggak deng, bercanda."
Abam misuh ke arah Raka yang kadang memang menjadi manusia paling tidak jelas di muka bumi. Sesekali ia menengok ke arah bangku samping kiri Raka untuk mencoba mencari jejak Ines, siapa tau gadis itu menyembunyikan tasnya.
"Ines telat kali, ya?" Tanya Abam entah pada siapa, namun Raka menjawab dengan menaikkan bahunya, "kemarin gak masuk."
"Serius? Dari kapan?"
"Baru kemarin, kalo hari ini gak masuk berarti udah dua hari."
Abam menenguk salivanya, "kenapa dia?"
Raka menaikan kedua bahunya lagi, "bilangnya izin," jawabnya, "emang lo gak chatan sama dia?"
"Gak berani gue."
"Ah, cupu."
"Anjir lo," Abam mendelik, "gue pesimis dia bakal bales, daripada gue makin galau mendingan gak usah ngechat."
Raka memasamkan wajahnya, "usaha dulu lah, urusan dia bales atau enggak ya suka-suka, siapa tau dia malah nunggu lo ngechat."
Abam berpikir sejenak, sebelum dia mengambil handphonenya di saku baju dan membuka lockscreen. Abam mulai memainkan jari-jemarinya di atas layar, kemudian ia menekan logo telepon di roomchat ia bersama Ines.
"Ringing tapi gak di angkat," kata Abam nelangsa menatap layar handphonenya, "anjir sakit bet."
**
Bagai atom yang meledak secara mendadak tanpa aba-aba, Abam merasa lebur detik itu juga ketika Raka menceritakan apa yang terjadi beberapa hari yang lalu.
"Emak gue seriusan ngomong kayak gitu?" Abam menelan sulit salivanya, menyibak rambunya kebelakang sambil memejamkan matanya, "gila banget."
Ada setitik belas kasihan melihat kondisi Abam yang seperti ini, tadinya Raka tak mau menceritakan hal yang terjadi beberapa hari silam. Tapi setelah Raka pikir lagi, sepertinya Abam mesti tau sebelum dia akan tambah kebingungan karena sikap Ines yang sudah pasti akan semakin menjauhinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FREDITEN
Jugendliteratur"WOI, INES JELEK!" -Abam "BERISIK LO, BULUK!" -Ines Abam suka meledek, Inez paling tidak bisa tinggal diam kalau diejek. Terlebih lagi kalau di ejek dengan Abam, manusia ter-minus di matanya. Tiada hari tanpa tatapan mata sinis dan membunuh, perbed...