4. Rasa Salah

83 15 2
                                    

Ines melihat amplop berkop nama sekolahnya di atas mejanya yang baru saja Abam berikan. Ini adalah amplop kelima dalam satu bulan. Ines tak merespon apapun kepada Abam, ia membuka amplop, membacanya sebentar kemudian memasukkan amplop tersebut ke dalam tasnya.

Berulang kali amplop itu di berikan, berulang kali juga hal sama yang Ines lakukan. Ines menghela napas penat, matanya lurus ke depan memikirkan semua hal yang sudah terjadi padanya selama sekolah di sini.

"Nes."

Ines berdiri dari duduknya, jalannya cepat untuk keluar kelas mengabaikan Abam yang mungkin ingin memarahinya lagi tadi. Ines tak mau lagi dengar apa yang Abam bicarakan, Ines gak mau lagi mendengar siapapun yang bicara kepadanya.

"Nes, berhenti ga!" Abam mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Ines, "gue capek ya, Nes, kalo lu gini terus."

"Yaudah, berhenti."

Ines menjawab lantang, ia memberhentikan langkahnya dan berbalik menghadap Abam yang sedikit terkejut atas apa yang Ines lakukan.

"Denger ya, Nes--"

"Apa?!" Ines memotong, "lo sebagai ketua kelas juga gak punya kontribusi apapun kan buat anggota kelas lo yang punya banyak masalah ini?"

"Maksud lo apa, Nes?" Alis Abam terangkat geram.

Ines tersenyum kecut, "selama ini lo cuma marah-marah gak jelas karena surat yang terus-terusan neror lo, terus lo nyalahin gue karena orang tua gue yang gak dateng, tapi lo juga gak bantuin jalan keluar buat masalah ini kan, Bam?" Kata Ines, "Oke, ini masalah gue," Ines menjeda, "tapi bukannya lo yang selalu bilang kalau lo juga bertanggung jawab sama masalah gue? Mana buktinya? Dengan setiap hari lo ngambilin surat panggilan orang tua buat gue di ruang wakil gitu?" Ines menelan salivanya, "kalo gitu mah, lo gak lebih dari babu gue, Bam."

Abam meninju tembok yang ada di belakang Ines, sedetik kemudian Abam sadar yang manarik napasnya, ia melepas kepalan tangannya yang baru saja meninju tembok, "lo gak pernah cerita apa-apa ke gue, Nes," kata Abam sabar.

"Emang lo pernah nanya?" tanya Ines, "emang lo bakal percaya juga? Bukannya lo sama aja kayak mereka yang cuma bisa menghakimi tanpa mencari tau yang sebenarnya?" Ines menjeda, "bukannya lo selalu bilang kalo lo capek, males dan gak mau ngurusin lagi masalah gue ini? Yaudah, Bam, bilang sama mereka kalo lo udah angkat tangan, biar gue dikeluarin sekalian dari sekolah. Lo juga selalu nyuruh gue nyari jalan keluar, kan? Tapi sampe sekarang gue belum ada solusi apapun."

Ines berbalik, melanjutkan jalannya namun kali ini tidak terburu-buru. Abam masih mengikuti Ines, lelaki itu masih memikirkan pola kalimat yang tepat untuk ia utarakan pada Ines. Abam juga bingung, Abam gak tau harus ngapain, entah kenapa setelah apa yang Ines bilang pada Abam, ia lebih merasa jadi lelaki yang tak ada tanggung jawabnya.

"Nes."

Ines berhenti, "gue gak mau masuk kelas," kata Ines sambil berbalik ke arah Abam, gadis itu cepat menangkap apa yang akan Abam bicarakan, "gue mau di UKS aja, lo bilang aja gue sakit," Ines melaju, namun baru selangkah ada yang yang Ines ingat yang membuat ia berbalik badan lagi, "eh, tapi kalau lo mau bilang gue bolos juga gapapa, Bam."

Kemudian Ines kembali membelakangi Abam dan berjalan kembali untuk sampai ke UKS. Abam memandangi punggung Ines yang semakin menjauh semakin membuat rasa bersalah berjalan ke sekujur tubuhnya. Abam memberanikan diri untuk mengikuti Ines, hingga sebelum Ines menjejalkan kakinya pada anak tangga untuk turun ke lantai satu, Abam memanggilnya.

"Nes."

Ines menengok.

"Sori," kata Abam, matanya lurus memandangi Ines yang juga melihatnya. Ines diam sebentar, hingga mulutnya bergerak, "okay," tanpa suara dan berlalu melanjutkan langkahnya.

FREDITENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang