17. Patah yang Patah

44 6 1
                                    

Napas Neni terengah-engah sembari mendaratkan bokongnya di kursi samping Ines, membuat teman sebangkunya yang sedang menyalin PR di pelajaran akhir nanti mengeryit bingung, "kenapa lo, Nen?"

"Abam---" napas Neni belum teratur. Sedangkan Ines langsung memasamkan wajah tak peduli ketika mendengar nama lelaki yang barusan saja teman sebangkunya itu sebut.

"Dia berantem," lanjut Neni.

"Oh."

Neni melebarkan bulatan matanya, "kok 'oh' doang sih?!"

Ines menatap Neni dengan pandangan penuh tanda tanya kenapa gadis itu menyalahkan jawaban singkatnya, "dia bonyok parah, Nes."

Ada rasa tak enak menyergap dalam hati Ines saat itu juga, namun biar bagaimanapun sakit hati Ines belum pula tersembuhkan sejak kejadian kemarin sore. Terlalu sakit sampai Ines-pun tak tahu bagaimana cara menyembuhkannya, Ines terlalu ragu mengkhawatirkan keadaan Abam, lelaki itu sebenarnya tak layak untuk Ines khawatirkan. Untuk apa peduli dengan orang yang terang-terangan sudah berkhianat.

"Dia lagi di kompres di UKS," kata Neni yang sebenarnya tak dipertanyakan oleh Ines, "lo sama sekali ga peduliin?"

Ines hanya menggedikkan bahu tak peduli, padahal jauh dalam ingatannya, otak Ines mengulas balik kisah saat dulu ia dan Abam bertemu di cafe dekat Rumah Sakit, ketika Ines membantu Abam menutupi luka lebamnya karena lelaki itu takut kalau ketahuan oleh orang tuanya.

Bisakah Abam menutupi luka Ines juga sebagai penggantinya? Jawabannya sudah pasti tidak bisa. Abam hanya lihai menghancurkan tanpa membetulkannya kembali.

"Beneran Abam yang jadi sumber dari mading itu, Nen," ceplos Ines tanpa diminta.

Neni terkejut, wajahnya mendekat ke arah Ines, "demi apa lo, Nes?"

"Dia ngechat Ka Meisya, ketua mading."

"Serius?"

Ines menatap Neni jengah, "gue ngeliat sendiri, kalo udah kayak gitu di titik mana lagi gue mesti gak percaya dan terus nyari tau sesuatu yang bikin gue makin sakit hati?"

**

Kelas 10 IPA 2 sudah menjadi perbincangan yang panas oleh guru-guru, bagaimana tidak? Ketua kelas yang di anggap menjadi teladan baik bagi teman-temannya sekarang malah terang-terangan membuat masalah sampai ia harus di skors selama 3 hari.

"Ada yang mau bertanya tentang materinya?" tanya Pak Dadang seraya membereskan tumbukan buku di atas meja, pelajaran sudah akan berakhir 10 menit lagi. Kelas hening tak ada yang menghirauan sesi tanya-jawab dari Guru Sejarah tersebut.

Biasanya Abam yang akan bertanya, kemudian di sanggah oleh si Wakil Ketua yang menimbulkan pertanyaan semakin bercabang dan kelas menjadi ramai. Tapi kali ini beda, semua sibuk dengan peralatan tulisnya yang mereka rapikan karena istirahat akan tiba.

Hingga bel berbunyi dan Pak Dadang keluar dari kelas. Semua siswa berhamburan, ada yang sebagian keluar dan sebagian memutuskan untuk menetap di dalam kelas. Ines adalah salah satu siswa yang memutuskan untuk tetap di kelas meminum susu kotaknya.

Terdengar bangku berdecit mendekat ke arah Ines, gadis itu sudah tau siapa dan apa tujuan lelaki itu menggeser bangkunya mendekat, "gue udah gak peduli Abam mau kayak gimana juga," sarkas Ines menatap Raka di sampingnya.

"Lo gak inget dulu Abam rela bolak-balik ke ruang wakil cuma buat ngurus masalah lo? Abam rela luangin waktu buat ngajarin lo Biologi sama Matematika sampe nilai lo meningkat dratis? Abam juga yang udah--"

"Pertama, gue gak minta Abam buat urusin masalah gue ya, Rak, dan kedua, gue gak butuh kebaikan dia kalau akhirnya dia juga yang nyakitin gue terang-terangan," potong Ines, "lo gak ngerti, Raka."

FREDITENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang