Abam tak henti merutuki dirinya yang meninggalkan Ines dengan Gamal di parkiran Rumah sakit malam lalu. Sudah sehari Abam dan Ines tak saling bersua, di sekolahpun mereka diam saja, lagipula hari ini Ines tak ada masalah apapun yang membuat mereka berdua harus beradu suara.
Seharusnya Abam disana saat kejadian itu, hanya saja Abam terlalu.... entah cemburu atau bukan Abam hanya tak suka dengan Gamal. Tapi sepertinya Ines baik-baik saja, tandanya lelaki dengan jambul tebalnya itu tidak melalukan hal aneh-aneh kepada Ines.
Pagi ini, Abam bertekad untuk memberikan roti tawar isi kepada teman adu suaranya tersebut, itung-itung sebagai rasa bersalahnya Abam walaupun Abam sendiri gak tau dirinya salah tau tidak, ternyata diam dengan Ines bukan satu hal yang mengenakkan.
Ines mendongak menatap Abam bergantian dengan kotak mkan berisi sandwich yang diletakkan di atas mejanya, "apaan?" tanya Ines.
Abam tak menjawab apapun, bingung, sampai akhirnya dia memilih untuk duduk di bangkunya melewati bangku Raka, karena teman sebangkunya itu belum datang.
Ines menatap bingung tempat bekal tersebut sambil membukanya, ada secarik kertas.
'bikinan nyokap bukan gue, gak usah GR.'
Ines sendiri tak mengerti dengan sikap Abam semenjak kejadian di parkiran malam itu. Matanya melirik Abam yang ternyata masih memainkan handphonenya, Ines memutuskan untuk menutup kotak bekal tersebut dan di jadikan penopang dagunya, pagi tadi Ines sudah makan mie goreng.
Sedangkan Abam, lelaki itu melirik Ines yang tidak memakan rotinya, ia menggeserkan pantatnya untuk duduk di bangku Raka, kemudian sedikit memiringkan tubuhnya lebih dekat dengan Ines, "Nes," ujar Abam, "lo masih marah?"
Ines berdeham.
"Kok lo yang marah? Seharusnya kan gue."
Ines menatap Abam dengan alis terangkat, "gak jelas lo!" kemudian beralih lagi pada handphonenya.
Abam menarik bangku Raka untuk lebih mendekat ke arah Ines, "makan tuh, emak gue udah bikinin."
"Iya buat nanti pelajarajan Pak Ramli, biar ga ngantuk."
"Gila lo," ujar Raka yang tak ditanggapi Ines, Abam diam beberapa detik sebelum akhirnya ia berujar, "maafin gue ya, Nes."
"Ngapain? Katanya gak salah?"
"Iya, hati gue kan lebih lembut daripada lo," Abam terkekeh di akhir kalimat, Ines tak menanggapi banyak selain berdecak sebal.
"Nes, tapi yang waktu itu gue beneran ngeliat kutu kupret mau nyium lo," Abam mengecilkan volume suaranya.
Ines melihat Abam, "beneran?" tanya Ines, "tapi Gamal baik kok."
"Dalemnya?"
Ines mengendikkan bahu tertanda tidak tahu.
"Lagi lo kenapa pake nonjok dia segala dah? Kan bisa aja lo cuma dorong."
"Gak tau. Refleks."
"Lo cemburu, ya?" Tanya Ines dengan wajahnya yang jenaka, meledek Abam.
"Dih, geli b---"
"Ehm..."
Dehaman itu mengganggu percakapan antara Ines dan Abam. Raka berdiri dengan tatapan mengintrupsi bahwa Abam harus angkat pantat dari bangkunya, "ganggu lo," kata Abam.
"Pacaran mulu," kata Raka setelah Abam bergeser.
"Dih, geli."
"Geli-geli," ledek Raka, "tuh geli," Raka menoel pinggang Abam membuat lelaki tersebut sedikit berjengkit karena kaget, sedangkan si pelaku hanya terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
FREDITEN
Teen Fiction"WOI, INES JELEK!" -Abam "BERISIK LO, BULUK!" -Ines Abam suka meledek, Inez paling tidak bisa tinggal diam kalau diejek. Terlebih lagi kalau di ejek dengan Abam, manusia ter-minus di matanya. Tiada hari tanpa tatapan mata sinis dan membunuh, perbed...