13. Waktu Itu

489 42 4
                                    

Sky Saralee

Coffee shop, Bandar Udara Jakarta – April 2017

Happy Birthday, Gabriel Solomon..

Aku tersenyum setelah menuliskan kalimat itu dalam jurnal kelimaku. Buku yang berukuran hampir sama dengan keempat jurnalku sebelumnya, dan masih baru.

I love you, always..

Tulisku lagi. Percayalah bahwa aku menuliskannya sambil tersenyum. Aku mengenal kekasihku, aku mengenalnya dengan baik, aku mengenal Gabriel Solomonku. Tanpa ia perlu berkata pun, aku tahu bahwa Gabe akan selalu berharap aku bisa tersenyum dan berbahagia. Walau butuh waktu panjang yang cukup menyiksa untuk sekedar mengabulkan harapannya, pada akhirnya aku bisa tersenyum. Setidaknya akhir-akhir ini aku bahagia.

Sudah cukup.

Sudah cukup aku mengutuk diriku sendiri, membiarkan jiwa ini semakin berdosa karena membenci Tuhan, membenci alam semesta ini. Sudah cukup aku menghabiskan waktu dengan menjadi pemeran antagonis bahkan untuk diriku sendiri.

Kawan, aku akan bercerita tentang masa itu. Barangkali kisahku bisa membuatmu terhibur, atau setidaknya membuatmu tersadar bahwa hidup ini akan tetap berjalan apapun yang terjadi, bumi ini akan tetap berputar apapun yang terjadi, matahari yang kita jumpai setiap hari akan tetap bersinar pada pagi hari dan berpamit pulang setiap sore menjelang senja, lagi lagi- apapun yang terjadi.

Waktu itu, ketika penantianku tak kunjung terjawab, bahkan kabar tentang Gabe tak sedikitpun kami dengar, aku memutuskan untuk marah kepada Tuhan, sekaligus membenci diriku sendiri.

Kenapa Tuhan membiarkan hal ngeri ini terjadi padaku?

Setiap hari, aku mengulang pertanyaan itu dalam kepala, mencoba berkompromi dengan Sang Pencipta dengan menunggu Ia memberi jawaban atas pertanyaanku. Mengapa hal ngeri ini harus terjadi padaku? Kekasihku direngut dengan cara seperti itu, tiga bulan sebelum kami menikah, seriously?

Kuhabiskan waktu untuk berdiam diri, menangis, membiarkan air mataku mongering dipelupuk mata. Terjaga sepanjang malam bukanlah hal yang jarang terjadi dalam kehidupanku pada masa itu, bahkan untuk tertidur dua jam dalam sehari merupakan pencapaian besar. Pada suatu titik, aku mengalami sesak nafas yang begitu dahsyat hingga tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Jiwaku terasa seperti keluar dari tubuh, leherku seperti dicengram dengan begitu keras, rasanya aku akan mati. Aku ketakutan, seolah sosok tak terlihat hendak mendekap begitu kencang dan melemparkanku ke api neraka, hingga sesak dan panasnya pun bisa kurasakan.

Pada malam hari, tubuhku mengigil begitu dahsyat, jari-jari tanganku terasa kaku dan kebal, begitu dingin. Aku masih mengingat ketika pertama kali merasakan hal tersebut. Yang kulakukan saat itu adalah bangun dari kasur dan lari terbirit-birit sampai dapur. Kunyalakan kompor dengan tergesa-gesa, lalu kuletakan tanganku beberapa centi diatas kobaran api, agar aku merasa hangat.

Papa dan Kak Laura membawaku ke rumah sakit. Aku didiagnosis penyakit asma. Penyakit yang tak pernah kumiliki sebelumnya. Bukankah hidup ini unik dan tak masuk akal?

Psikiaterku berkata, tingkat stress yang kualami bisa saja menimbulkan penyakit yang jauh lebih parah dari sekedar asma. Rupanya hormon kortisol yang kuhasilkan dari panik, murung dan bersedih mampu memporak-porandakan seluruh sistem dalam tubuhku yang awalnya berjalan baik-baik saja Seorang dokter dari Jepang bernama Shigeo Haruyama pernah berkata bahwa ketika marah, tubuh manusia menghasilkan hormon alami yang zatnya terkandung juga dalam bisa ular. Jika dipikirkan, aku sudah banyak menghabiskan waktu untuk marah kepada keadaan, diri sendiri, bahkan Tuhan.

Keluar masuk rumah sakit bukan lagi menjadi hal yang aneh untukku dalam satu tahun penuh, sampai pada akhirnya Kak Laura mengirimku ke Seoul untuk menjalani short course. Yang pada akhirnya tak pernah kudatangi. Satu bulan di Seoul sama dengan satu bulan panjang di dalam kamar kontrakan. Kelas belum selesai, tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta, melanjutkan hidupku yang sudah hancur.

WAKTU ITU ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang