4. As Long As I'm With You

403 40 1
                                    

Sky Saralee

Jakarta, Febuari 2008

"Gabriel Solomon!" Teriakku tepat disamping telinganya.

"Hm?"

"Gabrielaaaaaa..!" Teriakku lagi karena Gabe sama sekali tak memedulikanku. Lelaki itu masih sibuk dengan lukisannya, menyebalkan sekali!

"Aku pulang ya.." Ucapku menggodanya.

"Hm.." Jawabnya datar.

"IH! GABE!! Aku benar-benar pulang ya.."

"Hm.." Astaga! Menyebalkan sekali anak ini. Aku mulai berfikir kenapa aku bisa berakhir disini, di dalam kamar Gabe. Walaupun hampir setiap hari aku mampir kesini sepulang sekolah dan berujung dengan mempertanyakan diriku sendiri mengapa bertahan menjadi sahabat dari lelaki menyebalkan ini, aku masih tetap menerima ajakannya.

Aku mengerucutkan bibirku sambil mengangkat tubuh, bangkit dari kasur besar milik Gabe dan membuka jendela yang berada disudut kamar.

Kamar Gabe begitu strategis dan menyenangkan. Berada di lantai atas dengan jendela besar yang terletak disudut, tepat 90 drajad. Jendela kaca yang mempertontonkan suasana perumahan dari atas. Dari sini pula aku bisa melihat langit yang biru. Aku tersenyum saat membuka tirai jendela dan menemukan langit yang begitu cerah terpampang jelas.

Disana, ada sekawanan burung yang beterbangan. Dalam hati aku bertanya-tanya, kemana ya kira-kira mereka pergi? Apakah mereka akan singgah disuatu tempat atau akan langsung tiba ditujuan mereka?

"DOR!" Tiba-tiba suara Gabe mengagetkanku. Ia sudah berada tepat dibelakangku dan kedua tangannya menyentuh lenganku.

"Gabe! Kaget, bodoh!" Pekikku sambil membalik badan, menatap Gabe dengan penuh peringatan. Sedangkan anak itu malah menampakan cengir kuda menyebalkan yang sudah sering kulihat.

"Makanya jangan ngelamun!"

"Makanya, ada tamu jangan dicuekin.."

"Uhh.. Ngambek ceritanya.." Gumamnya sambil menggelitiki daguku, membuatku tanpa segan menepis tangannya dan mencubit lengannya keras-keras sampai ia berteriak kesakitan.

"Saralee, ampun! Yang kemarin juga belum hilang bekasnya!"

"BODO AMAT!"

"Ampun ampun! Lepas dong! Sakit banget, ampun!"

Akhirnya, aku melepaskan lengannya dan segera berlalu meninggalkan Gabe menuju pinggiran kasur, tempat dimana Gabe sibuk melukis setiap hari.

"Tanggung jawab, Saralee! Lihat, lengan aku lebam-lebam!"

"WOA! BAGUS BANGET!" Pekikku, tanpa sedikitpun menghiraukan ucapan Gabriel. Aku benar-benar terkejut dengan apa yang kulihat. Lukisan buatan Gabe benar-benar indah dan tampak seperti nyata, walau aku jelas lebih cantik aslinya dibandingkan didalam lukisan ini. Disana, aku sedang menatap langit dari balik jendela kamar Gabe, bahkan ia melukiskan rak-rak buku yang terletak di gambar tubuhku, seolah memastikan bahwa lukisan itu adalah lukisan kamarnya.

"Bakal lebih bagus kalau tadi kamu nggak mengganggu aku terus."

Aku langsung meliriknya dengan tajam. "Nggak jadi bagus deh! Akunya jelek, cantikan aslinya pake banget!"

Lelaki itu langsung tertawa terbahak sebelum menjatuhkan tubuhnya dikasur dan menopang kepalanya dengan tangan sambil menatapku lekat-lekat. "Dibawa gih. Dipajang di kamar kamu.." Ucapnya

Aku menganggukan kepala. "Kalau kamu nggak bilang juga aku udah berencana mencuri lukisan ini kok. Cuma tinggal tunggu cat-nya kering aja." Gumamku tanpa menoleh kearah Gabriel, masih terkesima dengan pemandangan dihadapanku dan terheran-heran bagaimana Gabriel Solomon yang menyebalkan itu memiliki tangan ajaib yang dapat menciptakan karya indah seperti ini.

WAKTU ITU ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang