Enam

5.1K 230 9
                                    

Beberapa bulan berlalu ....

Maira melangkah cepat memasuki kantor di mana sang ayah bekerja. Ia hanya membalas sapaan beberapa orang bawahan ayahnya dengan anggukan, tanpa senyum.

Melakukan tiga kali ketukan cepat, ia lantas mendorong pintu, tanpa menunggu sahutan dari dalam. Sekilas, ia melirik nama sang ayah yang menggantung pada pintu berbahan kayu itu.

Mata Maira membulat, katika kakinya berhasil menjejak ruangan sang ayah. Napasnya memburu, menahan amarah. Tetapi sejenak kemudian ia memalingkah wajah, berusaha menguasai diri dan mengatur napas.

Sang ayah terkejut, ketika menyadari siapa yang datang. Begitu juga dengan wanita yang berada dipangkuannya, yang melingkarkan lengan ke leher, tanpa tahu diri.

"Maira, Sayang ...."

"Maaf, karena Mai datang ngga ngasih kabar dulu, Pa. Kalo Mai tau, datang dadakan bikin terkejut begini, mungkin Mai nelpon dulu ...," kata Maira, berusaha menekan suaranya.

Ada perih yang menggores hatinya, melihat apa yang baru saja ia saksikan. Bagaimana mungkin ayahnya melakukan itu, sementara di rumah, ibunya masih berusaha mendamaikan hati dari luka?

Maira menelan ludah, seiring kaca-kaca yang menyesak kedua matanya.

Dengan isyarat mata, lelaki yang _dulu_ sangat disayangi Maira itu, membuat wanita yang tadi dicumbunya pergi. Gadis itu mendengkus kasar, ketika wanita itu berlalu di sisinya.

"Ada apa?" Lelaki itu mendekat, sementara Maira masih menunduk.

"Tadinya ... tadinya Maira mau minta Papa untuk ... ah! Sudahlah!"

Maira mengangkat wajah. Menunjukkan air mata yang tak bisa ia tepis untuk luruh dari tempatnya. Menyampaikan pada sang ayah, bahwa saat ini ia sangat terluka.

"Mai, Papa-'" Ada yang ingin lelaki itu jelaskan, tetapi Maira tak ingin mendengar saat ini.

"Maafkan Mai, Pa. Maaf kalo sampai sekarang Mai ngga bisa terima Papa yang sudah punya kehidupan baru. Maaf kalo Mai tidak pernah bisa menjadi dewasa di depan Papa. Tapi ... ah!"

Maira menghapus air mata yang membanjiri pipinya, lalu melangkah keluar dengan cepat. Tak peduli beberapa orang memerhatikannya.

"Maira! Mai! Tunggu!"

Tak mengabai panggilan itu, Maira berlari cepat. Sesenggukan, ia meninggalkan ruang kerja ayahnya, menuju tempat di mana mobilnya terparkir.

"Om ... " isak Maira ketika panggilan teleponnya terjawab diseberang sana.

[Kamu kenapa, Mai?]

"Om mau kan, jadi wali nikah aku?" tanya Maira pelan, seiring tangisnya yang pecah.

[Mai? Kenapa? Ada apa?!]

[Mai!]

[Maira!]

Tak ada jawaban, meski beberapa kali Bara memanggil dari seberang sana. Hanya tangisan Maira yang terbiar semakin menjadi.

Hari ini, Maira datang untuk meminta kesediaan sang ayah sebagai wali, setelah lelaki itu tak hadir dalam acara lamarannya, dengan alasan pekerjaan. Ada kunjungan di luar daerah, begitu ucapnya kala itu, yang mematahkan hati Maira.

Sebelumnya, Maira percaya bahwa perpisahan yang terjadi di antara orang tuanya tak akan mempengaruhi apa pun. Dia masih tetap bisa bermanja pada ayahnya, seperti sedia kala. Akan tetapi, yang dilihatnya sesaat lalu, membuat angan itu pupus sudah. Segalanya memang telah berubah. Tak lagi sama.

Sekali lagi, hatinya harus patah, ketika bahkan tak sempat meminta apa yang ia inginkan. Beberapa kali, gadis itu membenturkan kepala pada kemudi mobil, dengan tangis yang masih menjadi.

Om I Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang