Empat

5.6K 249 9
                                    

"Harus banget jalannya kaya gini?" ketus Bara.

Lelaki itu melihat tangan Kaytra yang berjalan sembari mencubit ujung kausnya. Lelaki itu menghentikan langkah, sehingga mau tak mau Kaytra juga melakukannya.

"Kenapa, Om?"

"Harus banget, kamu pegangin ujung kaus aku gini? Kenapa nggak gandengan aja?"

"Ish! Gandengan? Apaan? Nggak ah!"

"Kenapa? Bukannya cewek paling suka kalo jalan bareng terus gandengan?"

"Cewek yang mana dulu?"

"Kamu, misalnya!"

"Nggak. Aku nggak kaya gitu, kok!"

"Kenapa?"

"Yaaa, karena yang sukanya gandengan itu gampang ditikung, Om. Tapi kalo aku ngintilin kamu sambil megang baju, mana ada yang berani ngambil kamu dari aku?"

"Ish! Analogi apa itu?"

"Analogi Kaytra!"

Keduanya berjalan lagi, melangkah dikeramaian pusat perbelanjaan. Sore ini, Bara berniat menemui salah satu temannya yang kebetulan juga sedang berada di Makassar.

Memasuki kedai kopi kekinian di sisi depan mall, mereka memilih tempat yang berada di teras.

"Beneran tetep pulang minggu depan, Om?"

"Hmm …. " Bara memegang buku menu di tangannya, sementara seorang pramusaji menunggu di antara mereka.

"Nggak mau nambah seminggu lagi di sini? Kan kita baru jadian, masa mau LDR-an sih, Om?"

"Mas, sebentar saya order, ya," kata Bara pada sang pramusaji, agar meninggalkannya.

Sapaan Kaytra padanya, membuat Bara enggan jika obrolannya terdengar orang lain. Mengerti akan isyarat itu, sang pramusaji tersebut mengangguk, lalu pergi. Tentu saja setelah meninggalkan senyuman aneh.

"Harus banget, manggil Om?" Bara menaikkan satu alisnya.

"Tiap orang punya panggilan buat pasangan mereka kan, Om? Nah, itu panggilan sayang aku ke kamu!"
Kaytra terkikik melihat reaksi Bara yang merajuk atas jawabannya.

"Aish! Tapi orang liatnya, aku kaya jalan sama anak kecil!"

"Beneran, nggak bisa nambah seminggu lagi, Om?" Kaytra mengulang pertanyaannya.

"Atau mungkin, kamu mau ikut?"

"Nggak lah! Aku masih pengen pacaran aja."

"Di sana kan juga masih bisa pacaran?"

"Ish! Jauh-jauh bawa anak orang, masa iya cuman buat dipacarin aja? Enak di kamu dong, Om?"

"Masa iya bawa anak orang cuman buat diputusin?"

"Maksud aku bukan itu!"

"Terus?"

"Tau, ah!"

Kaytra memalingkan wajah, sembari melipat tangan di atas dada.
Sementara Bara hanya tersenyum atas sikap gadis itu.

"Kay .... "

"Hmmm ...!" jawab Kaytra ketus.

"Love you!"

"Aku belom marah, jangan dirayu dulu, Om!"

"Soalnya, kalo kamu marah jadi gemesin! Kalo aku pengen macem-macem gimana?"

"Ya udah. Aku marah aja kalo gitu!"

"Ngga takut nyesel?"

“Kamu lebih nyesel, kalo aku yang gemes sama kamu, Om. Mau bukti?” Kaytra memajukan bibir, sembari mengerling ke arah kekasihnya.

***

Kaytra merebahkan kepala di atas meja kerja, sembari memainkan ponsel yang sejak tadi ia genggam.

[Jangan makan dulu, aku bawain makanan.]

"Ish, ngga pernah nge-chat, sekalinya nge-chat cuma begini aja? Dasar!" gerutunya membaca pesan dari Bara.

Sejak ciuman singkat di hari pertama mereka beberapa saat lalu, hati gadis itu semakin berbunga setiap berada di sekitar Bara. Tak mampu menepis rindu, saat berjauhan seperti saat ini.
Kadang, Kaytra sering tersenyum sendiri ketika membayangkan hal itu, bahwa saat ini ia benar-benar telah menjadi kekasih dari paman sahabatnya sendiri.

Apa yang ada dipikirannya, ia juga tak bisa memahami. Tetapi bukankah seperti itu adaya cinta? Mampu tumbuh dan terus menyesak dada, bahkan saat tak sejalan dengan logika?

[Lama banget, Om? Jangan-jangan, beli sop sodara di Pangkep, ya?] Kaytra membalas pesan tersebut.

[Kenapa? Sudah lapar?] Pesan balasan masuk beberapa saat kemudian.

[Banyakan kangen, dari pada lapar, Om!]

[*kiss emoticon*]

Balasan selanjutnya, mampu membungkam Kaytra. Ia meletakkan ponsel tanpa berniat untuk membalas percakapan mereka.

***

"Kaaaaaay!"

Maira berseru dari arah pintu masuk ruangan Kaytra. Setengah berlari, gadis itu mendekat pada sahabatnya yang tampak terkejut.

"Kenapa? Kebetulan lewat lagi?" Kaytra bangkit dari duduknya.

"Lihat, deh!" Maira mengangkat tangan kiri, menunjukkan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya.

"Hah? Kamu dilamar, Mai?”

"Iya!" Maira mengangguk cepat dengan senyum merekah di bibirnya.

"Aaah … selamat, yaaa!" Kaytra berjalan melingkar, meninggalkan mejanya.

Kedua gadis itu lantas saling berpeluk, melompat-lompat kegirangan.

"Gila, aku tuh seneng bangettt!" Maira berseru.

Beruntung karena saat itu hanya ada Kaytra sendiri dalam ruangan. Sementara karyawan lain sedang menikmati makan siang. Melepaskan pelukan, Kaytra memegangi tangan Maira. Menatap takjub pada cincin indah yang tersemat di jari mungil sahabatnya.

"Bukannya kalian sepakat nunggu kamu selesai dulu?" tanya Kaytra.

"Ngga tau, tiba-tiba aja si .... "

"Sayang, makan yuk--" ucap Bara tertahan, demi melihat Maira ada bersama Kaytra.

"Sa--yang?" ulang Maira. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Kaytra. Sementara mata Kaytra membulat ke arah Bara.

"Apa tadi, Om? Sayang?" Pandangan Maira mengarah pada kantong yang dibawa Bara. "Kalian jadian?" serunya kemudian.

"Bb--bbukan gitu, Mai!" Kaytra mencoba memberi penjelasan.

"Hmmm …. " Maira berkacak pinggang, menatap Kaytra dengan sedikit memicingkan mata, mengintimidasi.

"Mau ngomong apa?"

"Kenapa ke sini?" Bara mendekat.

"Kalo nggak kesini, nggak bisa nangkep basah kalian, kan?!" Maira mengulum senyumannya dengan tangan bersedekap.

"Ketangkep basah? Nggak ngerasa tuh!" Bara membawa Kaytra dalam rangkulannya.

Sesaat, gadis itu tampak meronta dengan wajah merona merah. Tetapi, usahanya gagal, karena Bara erat menahan bahunya.

"Pak …. "

"Tadi manggil Sayang. Ada Maira masa manggil Pak?" Bara menatap mesra pada Kaytra.

"Aku nggak pernah manggil sayang, ya! Jangan ngarang! Bukannya sudah kubilang, panggilan sayangku ke kamu itu Om?" protes Kaytra, sebelum menyadari apa yang ia katakan. "Ups!" ucapnya kemudian, sembari menutup mulut.

"Ciee ... ada yang jadian sama om om nih, yeee ...!"

"Maira!" seru Kaytra.

"Pokoknya, aku nggak mau manggil tante, ya Kay! Pokoknya nggak mau!"

"Nggak sopan!" Bara mendorong dahi Maira dengan telunjuknya.

"Ish! Apa sih, Om!"

"Jangan panggil nama! Mulai sekarang, kamu harus belajar manggil dia--“

"Kay, pokoknya kamu harus belain aku dari Om Bara, ya! Awas kalo-- " potong Maira cepat.

"Nggak sopan lagi! Berani-beraninya ngancem depan aku, ya!" Bara mengatupkan bibir Maira dengan telunjuk dan ibu jari, memerintah agar ponakannya itu diam.

"Hmpph!! Hempph!" Maira me
nepis tangan Bara yang mengatupkan bibirnya.

***

"Beneran, nih?" Bu Meisya menatap Bara yang sedang mengunyah sarapannya.

"Beneran, Ma! Orang aku liat sendiri, kok!" jawab Maira antusias.

"Dasar ember!" Bara melirik Maira yang menjulurkan lidah padanya.

"Mama setuju, kan? Kalo Om Bara sama Kaytra?" desak Maira pada sang ibu.

"Kamu serius?" tanya Bu Meisya lagi, masih lekat menatap Bara.

"Baru juga kenalan, Mbak."

"Tapi kan udah sayang-sayangan, Om?" sela Maira.

"Mai!" Sang ibu memotong cepat, meminta gadis itu untuk diam.

"Kamu serius? Kaytra itu anak baik. Dari keluarga baik-baik juga. Kalo kamu cuma .... "

"Mbak, sudahlah!”

"Aku cuman nggak mau kalo kamu sampai--"

"Kali ini aku serius!" potong Bara, sambil meletakkan sendok yang ia pegang.

Bu Meisya menatap dalam sang adik. Menyelami keseriusan yang terpancar dari kedua mata bening serupa miliknya itu. Mungkinkah?
Sementara ia tahu betul, bahwa Bara masih mengharap Elina, sang mantan tunangan kembali?

"Kasih aku bukti, kalo kamu serius!" ucapnya kemudian, sementara Maira hanya menyimak dengan wajah bingung.

Ia tak mengerti, apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang di depannya. Tetapi, satu hal yang Maira tahu, bahwa sang paman memang sangat dekat dengan ibunya. Adakah yang mereka sembunyikan?

"Sebelum pulang, aku pastikan sudah ke rumah Kaytra, Mbak."

"Yakin?"

"Ya." Bara mengangguk mantap. Selesai dengan ucapannya, lelaki itu meinggalkan meja makan.

"Aseeek!" seru Maira.

"Kenapa?"

"Ngg ... nggak kok, Ma! Beneran!"
Gadis itu menyeringai, sembari mengangkat dua jari ke depan wajahnya. "Peace, Mama Meisya!" ucapnya kemudian, sebelum berlari meninggalkan meja makan.

"Ooom, tungguiiin!" serunya lagi.

***

"Kay .... "

Kaytra beranjak dari pembaringan ketika mendengar ketukan. Gadis yang mengenakan piyama itu melangkah ke arah pintu kamarnya.

"Ya, Kak, ada apa?" Tampak Kania sang kakak berdiri di ambang pintu kamar.

"Sudah mau tidur?" tanyanya.

"Belum, Kak. Masih mau. "

"Ada yang nyari, " kata Kania lagi.

"Siapa?" Kaytra melihat jam di dinding yang menunjuk pukul sembilan malam. "Nggak bisanya ada yang nyari aku malem gini? Maira?"

"Mungkin! Ganti baju dulu, gih!"

"Halah, kaya orang penting aja, Kak, segala pake ganti." Kaytra berlalu melenggang ke ruang tamu.

Sebelum mencapai tempat yang ia tuju, langkahnya terhenti saat mendengar suara orang yang sedang bercakap di sana. Dadanya berdebar, sementara kaki melangkah pelan.

"Om Bara?" tanyanya kemudian dengan mata membulat.

Tak jauh di depannya, Bara duduk, sedang menjawab panggilan telepon. Lelaki itu meletakkan ponsel ketika Kaytra mendekat.

"Kenapa?" Mata Kaytra mencari, siapa tau Bara datang bersama Maira.

"Kangen pacar. Nggak boleh?”

"Aish, bukan itu maksudku."

"Besok aku pulang, Kay."

"Be--sok? Bukannya--"

"Iya. Besok sore jam lima."

"Kenapa dadakan? Maksudku kenapa nggak bilang? Kan bisa nelpon? Terus, kesini mau ngapain?" Kaytra memberondong dengan banyak pertanyaan.

"Mau minta izin sama papa kamu. Ada?"

"Eh? Izin? Buat ap--?"

"Urusan cowok, aku ngga mau spoiler ke kamu!"

"Om, aku serius! Mau ngomong apa sama papa?"

"Mau ngomong kalo aku sayang sama anaknya," kata Bara dengan memelankan suaranya.

"Aish! Serius, mau ngomong apaa? Jangan bilang macem-macem, ya! Kan aku deg-degan!" desak Kaytra, kini menggeser duduk tepat di samping Bara.

"Jangan deket-deket!"

"Kenapa?" tantang Kaytra
mengangkat wajahnya.

"Aku kalo gemes, suka nekat!" Bara mencondongkan wajah, hingga keduanya mendekat. Nyaris bersentuhan satu sama lain. "Kamu mau liat kaya apa kalo aku lagi gemes?" Bara mengedipkan sebelah matanya.

Menelan ludah, Kaytra beringsut mundur.

***

Bersambung ....

Om I Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang