"Kulihat kamu akhir-akhir ini lebih diam dari biasanya, rania. Apa ada masalah dengan pekerjaan yang kuberikan?" tanya Bara ketika mereka baru saja keluar dari parkiran café dan hendak menuju kantor.
"Aku baik-baik saja," jawab Rania singkat. Ia lemparkan sedikit senyum di bibirnya, berharap Bara akan mengalihkan pembicaraaan. Karena seenarnya ia sudah lelah dengan kehidupannya dan berharap topic lain lebih menarik dari dirinya. Ia benci kehiduannya. Ia benci menangis.
"Kamu menyembunyikan sesuatu, Rania. Katakan saja jika kamu membutuhkan bantuan. Aku siap membantu sebisaku."
"Terima kasih atas perhatianmu, Bara. Tetapi memang benar aku baik-baik saja."
"Maaf bila aku terlalu ikut campur dengan urusanmu. Kulihat kamu kesulitan mengunyah saat kita makan barusan. Ada lebam juga di rahang kirimu."
Rania kehabisan kata. Ia tak bisa menjawab ataupun sekadar mengelak. Rasanya ingin menangis saja. Namun tidak mungkin menangis di hadapan orang asing. Bara memang atasannya, tetapi ia bukan tempat yang layak menumpahkan semuanya.
Keduanya hanya terdiam sekian lama. Rania mengambil tisu dan membersihkan air matanya yang sudah menggantung di sudut mata.
"Apakah cinta itu akan berakhir dan kedaluarsa?" Rania tiba-tiba bertanya. Memecah kecanggungan antara mereka yang sekian detik tercipta.
"Mungkin saja iya. Aku sudah punya banyak pengalaman buruk terkait cinta. Aku lebih memilih hidup dengan tenang tanpa memikirkan hal itu."
"Maaf jika pertanyaanku membuatmu tak nyaman."
"Tidak masalah, Rania. Aku pernah merasakan hal-hal buruk dengan cinta. Tetapi bukan berarti cinta itu buruk. Aku hanya terlalu takut untuk merasakan lagi.
"Sebulan yang lalu aku baru saja ditinggalkan kekasihku. Setelah hidup bersama dua tahun dalam hubungan yang tak menentuh. Orang tua yang tak setuju, perbedaan agama, dan keraguan yang mengalahkan rasa cinta."
Kata-kata Bara terhenti sesaat. Kendaraan di depan mereka mendadak berhenti sehingga ia harus menginjak rem. Sesekali ia memaki pengendara di depan. Beberapa saat kemudian, saat lalulintas kembali lengang, perhatiannya kembali ia alihkan ke dalam mobil. Matanya menatap sekilas wajah Rania. Tiba-tiba saja mengalihkan pandangan ke depan, setelah menyadari bahwa Rania tengah memperhatikannya.
Beberapa saat kemudian Bara tertawa malu sendiri. Membuat Rania yang melihatnya menjadi kebingungan. "Maaf ya. Harusnya kujawab pertanyaanmu dan mungkin memberimu sedikit nasehat. Atau paling tidak mendengarkan keluhan-keluhanmu. Malah sekarang aku yang curhat."
"Tidak masalah. Hidup memang rumit. Tak seperti yang kita impikan. Mungkin yang kurasakan sekarang adalah apa yang sudah pernah kamu lalui beberapa saat yang lalu. Meski di level yang berbeda."
Keduanya kembali terdiam beberapa saat sampai akhirnya Bara melanjutkin kisah cintanya yang pilu itu. Bagaimana ia sangat mencintai kekasihnya namun orang tuanya sendiri tak menyetujui hanya karena perbedaan agama. Sementara itu di pihak lain, kekasihnya selalu menuntut dirinya untuk menikah secepatnya.
Percintaan mereka kandas ketika sang wanita lebih memilih menerima lamaran lelaki lain yang datang ke rumah oaring tuanya. Hatinya teriris dan mau tak mau ia harus menerima kenyataan bahwa ia kini ditinggal sendiri. Kehilangan cinta dan kebingungan sendiri.
"Aku mengerti bagaimana sakitnya perasaanmu. Masih banyak wanita lain di luar sana yang lebih cocok denganmu."
"Ya, masih banyak wanita. Tetapi ada hal-hal sealin cinta dan wanita yang turut punya andil besar dalam semua itu."
Rania hanya mengangguk. Pikirannya mengenang kembali saat pernikahan dengan Candra dua tahun yang lalu. Kedua orang tua Candra tak mau menerimanya. Bahkan merek harus menikah tanpa dihadiri ibu dari Candra.
👇👇👇
😇Jangan lupa VOTE-nya, Kakak 😇
KAMU SEDANG MEMBACA
AFFAIR 21+ [selesai]
Romance🔞Hanya untuk 18+ Berawal dari kedekatan sebagai atasan dan staf, Rania diam-diam mulai menyukai Bara. Hal ini dimulai sejak Candra, suami Rania, mulai berubah. Konflik batin, KDRT dan rasa cinta yang tumbuh antara ketiga tokoh ini membuat nya menja...