Part 6

40.8K 798 59
                                    


Bara berdiri di depan pintu dengan wajah gamang. Beberapa kali ia mengepalkan kedua tangannya dan berusaha mengontrol emosi. Beberapa detik berselang, ia masih saja kebingungan di depan pintu. Setelah menyentuh rambutnya, dan memastikan tidak berantakan sesuai dengan yang ia inginkan, Bara mengetuk pintu.

Tidak lama berselang Rania muncul di balik pintu.

"Bara?" Wajah wanita itu tampak pucat dan terkejut. Ia mengenakan daster biru yang tampak kedodoran dengan rambutnya terbungkus selembar handuk. Keningnya tampak basah.

"Maaf bila mengganggumu—"

"Bisa menunggu sebetar?"

"Oh, tidak masalah."

Rania tak menjawab. Ia langsung menutup pintu dan membiarkan Bara berdiri dan menunggu di luar. Ia bahkan lupa mempersilakan Bara untuk duduk sice kecil yang kebetulan berada di depan kamarnya. Biasa ia gunakan saat senggang ngobrol bersama Candra atau penghuni kosan yang lain.

Buru-buru ia kenakan pakaian dan mengeringkan rambut. Andai saja Bara tak datang, rasanya ia hanya ingin merebahkan tubuh di atas kasur. Entah kenapa tubuhnya kini mudah lelah.

Bukankah di telpon siang tadi Bara baru mau bertemu besok?

Apa Mia membocorkan kabar kehamilan padanya?

Pertanyaan demi pertanyaan hinggap di kepala Rania kini. Rasa penasaran dan tak enak hati membuat ia semakin cepat bergerak untuk mengganti pakaian dan keluar dari kamar.

Bara tengah duduk dengan sebatang rokok yang belum dibakar terselip di jarinya, saat Rania muncul dari balik pintu. Matanya berbinar kemudian mempersilakan Rania duduk di sice yang kebetulan berada di dekatnya.

"Aku butuh bantuanmu," ujar Bara tanpa basa-basi.

"Untuk?"

"Kami kekurangan desainer."

"Tapi aku sudah—"

"Kamu bisa bekerja di rumah. Aku benar-benar butuh dan hanya kamu yang kurasa punya kompetensi."

"Aku sibuk." Rania menatap jauh ke depan sebelum melanjutkan kata-katanya, "cari saja desainer lain. kurasa mereka lebih baik daripadaku."

"Hm .... Baiklah." Bara berdiri dengan wajah gamang. "Kamu bisa menghubungiku kapan saja, jika berubah pikiran."

Bara kemudian melangkah pergi tanpa menoleh. Tanpa ada ucapan perpisahan. Meski dalam hatinya entah mengapa ia sangat menginginkan wanita itu bersikap ramah. Mungkin senyuman atau apalah.

Setelah Bara pergi dan mobil lelaki itu menghilang dari pandangannya, Rania lalu berdiri dan masuk ke dalam kamar. Kepalanya kembali pusing dan sialnya ia merasa mual. Padahal seharian sudah berulang kali ia memuntahkan hampir semua makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.

***

"Apa lagi alasanmu?" Candra berdiri di depan Rania yang tengah duduk di atas kasur. "Aku melihatmu duduk bersamanya di beranda."

"Iya, itu benar. Tapi—"

Kata-kata Rania berhenti seketika ketika sebuah tamparan mendarat di pipinya. Menampilkan bekas tangan berwarna merah yang tampak jelas.

"Tapi apa?"

"Ia menawari pekerjaan untukku."

"Bullshit!"

"Sudah kutolak!"

"Apa?" Candra memegang rambut Rania dengan keras sehingga wanita itu dengan terpaksa menatap dirinya. "Kamu membentakku?"

Kini lelaki itu tersenyum, namun dari matanya terlihat jelas kilatan amarah yang semakin mejadi-jadi. Ia mendekatkan wajahnya ke Rania hingga hidung mereka nyaris saja bersentuhan. Namun beberapa detik kemudian melepas rambut Rania dengan kasar.

AFFAIR  21+ [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang