Part 11

28.4K 964 76
                                    

Mereka tiba di kantor pengacara ketika matahari mulai panas. Hari ini, Bara sengaja tak ke kantor demi menemani Rania menemui Richard, sahabatnya, untuk membantu mengurus proses perceraian.

Setelah masuk ke dalam kantor, mereka disambut oleh seorang resepsionis wanita. Wanita itu berpenampilan menarik, usianya sekitar dua puluhan tahun dan mengenakan setelan jas yang sangat elegan. Rambutnya disanggul sehingga menampakan kulit wajahnya yang lembut.

"Dengan Pak Bara?" tanya sang resepsionis, disambut dengan anggukan Bara padanya. "Pak Richard sudah menunggu di dalam. Mari saya antar."

Mereka berdua berjalan di belakang wanita itu, melewati sebuah lorong kecil yang di samping kiri dan kanan terdapat ruangan dengan pintu tertutup. Sepanjang sisi kiri dan kanan lorong dipajang berbagai lukisan dan foto-foto penghargaan yang diterima sang pengacara.

Mereka tiba di pintu paling terakhir, nama sang pengacara tertulis di bagian atas pintu. Sang staf mengetuk dan membuka pintu, kemudian mempersilahkan keduanya untuk masuk. Begitu pintu dibuka, tampak seorang lelaki berusia sekitar pertengahan tiga puluhan tengah duduk menghadap monitor komputernya. Ia tersenyum lalu bediri menyambut Bara dan Rania.

"Akhirnya kamu datang juga, Bara. Lama tak berjumpa," sambut Richard, sang pengacara, sambil memeluk hangat Bara. Matanya melirik Rania yang berdiri di belakangnya.

"Ini yang kubilang tadi di telpon," kata Bara, "namanya Rania. Stafku, dia butuh bantuanmu."

"Oh, kenalkan, saya Richard." Lelaki itu menjabat tangan Rania dengan erat dan penuh kehangatan.

"Saya Rania," jawab Rania gugup. Entah mengapa sekarang degub jantungnya semakin tak terkontrol. Ia seperti tak percaya bahwa Bara akan benar-benar mengantarnya ke sini. Menemui sang pengacara untuk mengatur proses perceraiannya.

"Duduklah," Richard mempersilakan mereka untuk duduk di sofa dalam ruang kerjanya.

Setelah mereka bertiga duduk, staf yang tadi mengantar mereka datang dengan baki di tangannya. Ia menghidangkan minuman untuk mereka bertiga.

Richard seorang pria yang teliti, paling tidak dari pandangan Rania secara sekilas. Ruangannya yang luas diatur sangat rapi dan simpel. Tidak banyak perabot di ruangan ini, hanya beberapa tumpukan buku di rak yang telihat sangat menonjol.

"Untuk pengajuan dan urusan pengadilan, biar aku saja yang atur," Richard membuka percakapan, "tetapi seperti yang Bara bilang tadi di telpon, kan dugaan KDRT. Soal visum harus ada surat dari polisi. Dokter tidak bisa sembarang visum tanpa surat dari kepolisian."

Rania mengangguk sambil memikirkan kembali apa yang baru saja dikatakan Richard padanya. "Kalau cerai tanpa visum bisa? Bukannya melapor ke kepolisian berarti akan ada proses pengadilan yang ribet?"

Bara menatap Rania dengan muka merengut. Seakan apa yang baru saja keluar dari mulut Rania adalah sesuatu yang tak bisa ia terima. Namun rasanya tak pas untuk membantah di sini, apalagi ada Richard di depan mereka.

"Itu kasus pidana, tergantung bukti yang kita miliki. Kalau kuat buktinya kupikir akan cepat urusannya," Richard coba menjelaskan.

"Aku hanya mau bercerai. Itu saja," kata Rania, "lagipula mungkin tidak cukup uangku untuk mengurus perkara yang lain."

"Kalau berubah pikiran, bisa hubungi kembali. Atau bilang saja pada Bara, kami berteman baik."

"Tidak," Bara tiba-tiba menyambar, "hari ini kita akan melapor ke kepolisian dan melakukan visum. Soal uang, itu kita bicarakan nanti. Richard teman dekatku, ia sangat paham soal itu."

Bara memberi melirik Richard sambil memberi kode dengan kedipan mata. Sementara itu Rania di sampingnya tampak kaget namun berusaha menahan ekspresinya agar tetap tenang.

Rania yang tak punya alasan kuat untuk menolak akhirnya menerima tawaran Richard dan Bara untuk pergi ke kepolisian untuk melaporkan dugaan pidana KDRT yang dialaminya.

"Semua ini demi kebaikanmu juga," begitu kata Bara saat meyakinkannya tadi.

Setelah semua berkas yang disiapkan selesai, Richard mengantar Bara dan Rania menuju kantor kepolisian. Di perjalanan, Richard menggunakan mobilnya sendiri, semantara Rania bersama Bara.

"Kenapa cemberut sih?" tanya Bara saat menatap Rania di sampingnya tampak diam sedari tadi.

Rania menggeleng, entah apa di kepala wanita itu, Bara benar-benar tak mengerti. Sesekali ia coba menggenggam tangannya. Menarik dan mengecup dengan lembut, namun tidak ada perubahan ekspresi di wajah Rania.

"Semua akan baik-baik saja, Sayang." Bara mengusap tangannya, "Ada aku. Soal Richard, itu urusanku."

Mendengar panggilan yang baru saja Bara ucapkan padanya, dada Rania mendadak bergemuru. Pikirannya menjadi kacau. Terkadang, ia berpikir bahwa Bara hanya menginginkan tubuhnya untuk memuaskan hasrat semata. Memikirkan hal itu membuat Rania merasa betapa hina dirinya, mendamba dan tidak berbalas. Namun saat ini? Ia benar-benar merasa bahwa lelaki di sampingnya kini memang benar-benar menginginkannya.

Mereka tiba di kantor polisi beberapa saat kemudian, di sana Richard sudah menunggu di sebuah ruangan. Tampak seorang polisi yang sudah paru bayah sedang mengetik. Sang polisi kemudian mempersilahkan Rania dan Bara untuk bergambung bersama Richard. Mereka tak lama di sana, polisi hanya kembali mengkonfirmasi apa yang sudah dikatakan Richard pada Rania.

Beberapa menit kemudian, polisi dengan memberi mereka sebuah surat untuk melakukan proses visum. Kali ini hanya Bara dan rania yang pergi, mereka ditemani seorang polisi yang berusia lebih muda. Sementara Ricahrd kembali ke kantor.

***

"Sudah pantas apa yang Bara katakan pdamu, Rania. KDRT memang tidak bisa dimaklumi," Richard membuka obrolan saat mereka tengah santap siang bersama. "Apalagi kamu sedang hamil. Akan berbahaya buat kamu dan janinmu."

Mendengar kata-kata Ricahrd barusan, Bara nyaris saja menyemburkan minuman yang baru saja ia teguk. Apa? Rania hamil? Kenapa wanita ini tak pernah memberi tahu dirinya?

Cepat-cepat Bara mengambil tisu dengan kasar dan membersihkan bibirnya. Matanya menatap Rania dengan pandangan seakan hendak menerkam.

Sementara itu Rania yang duduk di sampingnya tampak tenang. "Iya, aku beruntung bisa mengenal kalian."

Selama ini apa yang ia sembunyikan akhirnya ketahuan. Lalu kanapa harus sekarang? Matanya melirik Bara, lelaki itu kini tampak aneh. Mata Bara seakan sedang menelanjangi dirinya.

Sepanjang makan siang, mereka Bara tak banyak bicara. Ia hanya diam dan tampak tak bergairah. Hanya sesekali menanggapi candaan Richard.

Padahal sejak kembali dari rumah sakit tadi, dan selama percalanan ke kantor Richard, semua baik-baik saja. Malahan Bara yang sangat antusias, beberapa kali ia menggoda Rania dengan candaan yang kadang sangat garing. Bahkan saat memutuskan untuk makan siang, Bara-lah yang mendesak Richard untuk makan siang bersama dan ia memutuskan untuk mentraktir sang sahabat.

"Jadi benar kamu hamil?" tanya Bara dengan nada menyelidik. Mereka baru saja masuk dalam mobil.

Rania yang merasa aura berbeda di wajah Bara hanya mengangguk dengan pelan. Wajahnya tak sedikit pun menghadap lelaki di sampingnya.

"Apa itu anak Candra?"

Rania tak menjawab. Ia memalingkan wajahnya sehingga membuat Bara semakin kesal dengan tingkahnya.

"Rania?"

Tidak ada jawaban. Masih saja diam.

"Apa itu anakku?" tanya Bara dengan suara bergetar. Entah mengapa perasaan bersalah sejak tadi terus menjalari tubuhnya. Apalagi mengingat percintaan mereka, saat itu ia tak menggunakan pengaman.

Rania mendadak menghadap dirinya, "Iya. Jika bukan anakmu anak siapa lagi? Candra bahkan sudah lama tak menyentuhku."


Jangan lupa VOTE dan KOMENnya GRATIS kok, Kak.

Silakan dicoba ☻

AFFAIR  21+ [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang