Bab 2

9.1K 944 92
                                    

Jangan samakan aku dengan laki-laki yang memberikan banyak kenyamanan tanpa kepastian.

Diya melirikku bingung ketika aku mondar mandir melewati dirinya yang sedang tiduran di kasur lantai depan TV, ruang keluarga. Padahal hari ini tubuhku belum terlalu fit, terasa seperti panas dalam, namun tidak membuatku membatalkan acara untuk bertemu dengan sahabatku.

Jemi, mengundangku bertemu di salah satu resto demi mengantarkan undangan pernikahannya yang akan diselenggarakan seminggu lagi. Jemi sendiri adalah sahabat sewaktu di kampus IPB dulu. Walau jurusan kami berbeda, namun kisah cinta kami pada setiap perjalanan mendaki gunung, membuat kami saling terikat seperti layaknya saudara.

"Mau ke mana kamu, Ga?" tanya ibu yang baru kembali dari pasar, membeli beberapa lauk matang karena beliau tidak masak hari ini.

"Ketemu Jemi, temen Riga. Dia mau kasih undangan nikah."

"Hati-hati. Terus kamu mau ke Bogor sekarang?" tanya ibuku karena melihat semua pakaian lengkap berkendaraku sudah terpakai.

"Iya. Sekalian lihat rumah. Bersih-bersih sebentar, baru pulang."

Aku mencium tangannya, lalu menegur Diya, memberitahunya jika aku akan pergi sekarang.

Diya yang sibuk bermalas-malasan hanya menjawab dengan dehaman suaranya.

Setelah yakin semuanya telah terpakai dengan baik, aku mengendarai motorku menuju tempat yang sudah dijanjikan dengan Jemi.

***

Ketika aku sampai, Jemi dengan calon istrinya sudah cukup lama menunggu. Aku akui perjalanan dengan motor dari rumahku ke tempat ini cukup jauh. Dan macet. Mungkin karena alasan itu juga aku terlambat sampai ke sini.

"Assalamu'alaikum, sorry telat, Jem."

"Wa'alaikumsalam, santai aja, Ga. Kenalin, calon gue. Amel. Dan ini temannya, namanya Bunga."

"Riga."

Aku menjabat satu persatu tangan kedua perempuan itu. Mereka berdua tidak menolak dengan sentuhan ini.

Padahal kadang-kadang aku ragu juga berjabat tangan dengan lawan jenis, takutnya mereka akan menghindari, dan malah membuatku salah tingkah karena sudah mengulurkan tangan. Apalagi aku masih jauh dari kata sempurna. Bersentuhan dengan lawan jenis masih kulakukan, untuk sekedar berjabat tangan. Karena sesungguhnya membiasakan hal yang benar itu sangat sulit.

"Ini undangan buat lo, Ga. Datang ya, jangan lupa lo."

"Bareng Bunga tuh datangnya." Kata Amel padaku.

Aku tersenyum. Mak comblang mulai mendekat dan melakukan aksinya. Sekarang aku sudah tidak kaku lagi jika ada orang yang sengaja mengenalkan aku dengan yang lain, demi membuatku tidak jomblo lagi. Bahkan aku tidak ragu bertanya pada Bunga, apakah dia benar mau datang bersamaku ke acara ini?

"Tergantung mas Riga aja. Kalau mau bareng Bunga, boleh." Kata perempuan di hadapanku ini.

Wajahnya cukup mungil, dan dia cantik. Auranya sangat dewasa. Mungkin karena dandanannya yang mendominasi, aku merasa terintimidasi atas kedewasaan dari perempuan ini.

"Tuh, Ga. Lanjutin lah. Gue pulang dulu ya. Nanti lo anterin Bunga pulang."

Mau tidak mau aku mengangguk. Kenapa Jemi tidak memberitahu dari awal, jika pertempuan ini berakhir dengan perjodohan.

Beberapa saat kami sama-sama terdiam. Karena aku sendiri bingung harus bercerita dari bagian mana.

Tapi untungnya Bunga cepat tanggap. Dia mulai berhasil mencairkan suasana ketika banyak pertanyaan keluar dari bibirnya.

SAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang