Bab 12

4.9K 597 58
                                    

Jangan perdebatkan siapa yang salah. Karena selamanya akulah yang akan mengalah.

Foto-foto acara lamaran sudah tersebar ke seluruh jejaring sosial. Aku yang sebenarnya kurang aktif mengenai seluk beluk jejaring sosial mencoba untuk memposting foto tersebut. Bukan ingin berbangga diri atas perubahan status ini. Tapi aku ingin mengajak teman-temanku yang lain berbahagia. Karena sebentar lagi olok-olok mereka tentang diriku akan berakhir.

Apalagi untuk grup Aisix mendadak langsung ramai. Mereka bukan hanya memberikanku selamat, tapi juga membuat Ditha menjadi bahan candaan.

Aisix

Adon
Yah, pupus udah harapannya. Gimana sih Dit, harapan kita kan cuma sama lo berdua. Tapi gimana yak, Ditha kurang hot kali dimatanya Riga.

Ditha
Riga kayaknya belum ngerasain gocekan gue. Lupa dia kalau gue anak futsal.

Andi
Justru karena dia tahu lo anak futsal juga, dia jadi enggak mau. Abis keringet lo bau sih.

Ditha
Alah bau juga dulu Riga doyan sama keringet gue.

Walaupun sudah semalaman aku membaca isi chat mereka, tetap saja aku masih bisa tertawa ketika membacanya lagi. Benar-benar mereka semua keterlaluan. Padahal perempuan dalam grup itu bukan hanya Ditha, tapi kenapa dia terus yang kena getahnya.

Masih sibuk membalas satu komen di instagram dan juga DM yang masuk, aku tersenyum-senyum ketika ada sebuah komen yang penuh maksud di instagramku. Bukannya aku melarang, tapi orang-orang zaman sekarang paling ahli mencari kesempatan dalam kesempitan.

Dalam komen itu, terselip makna menjual produk yang mereka miliki. Sempat aku tertawa dan ingin membalasnya. Tapi panggilan dari ibuku, mengalihkan perhatianku.

Aku keluar kamar. Dan kaget waktu ibu menyebutkan satu nama.

Ditha. Perempuan itu mendatangiku.

"Ada Ditha di depan. Suruh masuk aja. Udah lama juga dia enggak main ke sini. Terakhir itu tahun baru 3 atau 4 tahun yang lalu kan. Waktu dia sakit."

Aku melihat ibu dengan dahi berkerut. Kenapa ibu masih ingat moment itu? Moment tahun baru di mana aku merawat Ditha dengan baik kala itu, karena kebetulan dia demam disaat kami sedang kumpul-kumpul.

"Hai, Ga."

"Masuk, Tha."

Kami berdua duduk di ruang tamu, sembari melihat ibu membawakan minuman untuk Ditha.

"Jangan repot-repot, Bu. Ditha cuma mau kasih sesuatu aja ke Riga."

"Enggak repot kok. Ditha yang udah lama enggak main ke sini nih."

Dia tersenyum, melirikku lalu membalas kata-kata ibu. "Ditha sibuk, Bu. Pindah-pindah kerja terus soalnya."

"Pindah kerja? Kenapa?"

"Cari yang cocok, susah."

"Duh, kamu harusnya lebih sabar lagi. Tekunin dulu kemampuan kamu tuh. Sekarang masih suka bikin kopi?"

Ditha mengangguk. "Iya, Bu. Masih. Karena itu hobi sih, Bu. Makanya mau ajak Riga nih."

"Ajak apaan, Tha?" Aku mulai ikut dalam pembicaraan ini.

Dari dalam tasnya keluar sebuah undangan. Aku pikir awalnya undangan pernikahannya, ternyata bukan. Undangan gold itu dengan banyak kreasi gambar kopi merupakan undangan pembukaan tempat kopi yang akan dia buka pada minggu depan.

"Ini Bu. Mau ajak Riga datang ke sini. Bisnis kecil-kecilan. Sekalian kalau Riga mau, mungkin jadi partner bisnis."

"Keren banget lo." Aku puji dia dengan tulus. Karena sama sekali tidak pernah terpikirkan dia akan melakukan bisnis seperti ini.

SAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang