Bab 6

6.7K 716 64
                                    

Aku terlalu sering berjuang untuk mendapatkan hati seorang perempuan. Namun semakin ke sini, aku semakin yakin jarang sekali perempuan memiliki hati yang tulus.

Gelisah. Aku baru kali merasakan syndrom tidak percaya diri. Jika dibandingkan dengan aku yang sebelum-sebelumnya, aku tidak pernah sekaku ini untuk mendekati perempuan. Karena akan ada banyak hal yang bisa kami bahas ketika sudah dekat.

Contohnya saja Ditha. Dulu pertama kali mengenalnya, aku yang lebih dulu mendekatinya. Mengajaknya untuk satu tim futsal di sekolah. Dan selebihnya hubungan kami sudah begitu dekat. Sahabat, dalam arti yang sesungguhnya.

Lalu jika kubandingkan ketika aku mendekati perempuan yang dulu pernah menghiasi hari-hariku, menjadi semangatku untuk memberikan yang terbaik dalam hidup ini, juga tidak sekaku ini. Aku bisa dengan mudah mengirimkan dia pesan, lalu berlanjut kepercakapan singkat, sampai dia sering menemaniku bersepeda ketika hari libur tiba. Memang semua itu adalah kegiatanku dulu. Tapi harusnya sama saja. Aku yang bukan orang baru lagi dalam menjalin hubungan dengan perempuan, harusnya punya banyak cara untuk mendekati Ani. Namun anehnya aku yang takut sebelum memulainya. Takut dia menilaiku memiliki maksud lain dalam memulai semuanya itu.

Aku tahu, semua yang kulakukan akan kuarahkan langsung kepada pernikahan, itu juga bila dia setuju. Tapi apa benar dia sesiap itu untuk menikah? Bukannya perempuan itu terkadang sering ragu jika diajak untuk menjalani hubungan serius? Atau hanya perasaanku saja.

Berusaha untuk meyakinkan hati, akhirnya aku memulainya. Menghubunginya dengan sebuah pesan, yang diawali dengan salam.

Ani

Assalamu'alaikum..
Tes, ini saya, Riga.

Setelah aku mengirimkan pesan itu, entah kenapa aku malah tertawa. Kenapa harus ada kata tes di sana?

Sambil menunggu balasan pesan darinya, aku sempat memetik beberapa note di gitarku sambil menikmati embusan angin malam dari balkon kamarku di lantai dua.

Biasanya tempat ini memang sering dijadikan spot favorit ketika teman-temanku sering menginap dulu. Atau bahkan menjadi tempat yang sangat nyaman bagiku ketika segala perasaan sedang tidak menentu seperti ini.

Memang dari tempat ini tidak banyak yang bisa kulihat. Selain tepat di depan rumahku sendiri ada pohon belimbing yang cukup besar, di samping itu pula perumahan tempatku tinggal bukanlah perumahan mewah. Jarak dari satu rumah ke rumah lain sangat berdekatan. Bahkan sampai kini, ibuku masih sering bertukar obrolan dengan tetangga sebelah walau masih dibatas dinding rumah.

Entah kekuatan ghaib dari mana, atau memang ketebalan dinding terlalu tipis, ibu bisa melakukan hal itu. Namun seburuk apapun perumahan tempat aku tinggal dari kecil ini, aku tetap bangga.

Dari hal terkecil saja aku bangga sekali. Karena orang-orang di sini masih menjunjung tinggi komunikasi antara sesama warga. Lalu seringnya dibuat acara yang melibatkan semua orang, agar bisa saling mengenal satu sama lain.

Bahkan beberapa tahun lalu, waktu banjir besar menyerang Jakarta dan sekitarnya, yang cukup berdampak pada tempat tinggalku ini. Semua orang berlomba-lomba saling membantu untuk evakuasi warga. Bukan malah sibuk sendiri menyelamatkan barang-barang pribadi.

Dari situlah aku berani menyimpulkan, semakin tinggi tingkat harga suatu komplek perumahan, maka bisa dipastikan anti sosial orang-orang yang menempatinya.

Ani

Wa'alaikumsalam, mas Riga.
Iya, enggak perlu dites. Saya tahu mas Riga pasti yang kirim saya pesan.

Saat notifikasi sebuah pesan masuk ke ponselku, aku tersenyum-senyum sendiri membacanya. Jadi ternyata dia menunggu aku mengirimkan pesan. Ya Tuhan, benarkah dia jawaban atas segala doa-doaku sebelumnya?

SAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang