Bab 13

5.3K 634 111
                                    

Akan tiba waktunya kamu menemukan seseorang yang akan tetap memperlakukanmu dengan baik, meskipun kamu membuatnya kecewa.

Yang kudengar malam ini ayah dan ibuku akan pergi ke rumah Ani untuk mendiskusikan resepsi pernikahan. Aku yang memaksa untuk ikut bersama mereka, nyatanya malah ditolak oleh ibu. Kata beliau, diskusi sekarang ini bukanlah akhir keputusan. Sehingga aku akan dilibatkan ketika beberapa pilihan terbaik telah mereka sepakati.

Karena itulah aku hanya bisa mematuhi saran ibu, dan berdiam diri di rumah sambil menunggu hasil keputusannya seperti apa.

Namun sebelumnya aku sudah berpesan pada ibu, agar tidak membuat resepsi pernikahanku secara berlebihan. Aku hanya ingin acara kecil-kecilan saja. Karena kupikir setelah menikah, aku masih membutuhkan banyak biaya untuk membangun rumah tangga kelak.

Apalagi rumahku di Bogor belum terisi oleh perabotan apapun. Hanya ada dua kursi plastik yang di letakkan di teras rumah. Seakan menggambarkan jika rumah tersebut sudah berpenghuni. Padahal seminggu sekali saja belum tentu aku akan datang ke sana.

Jika aku tidak sempat untuk bersih-bersih rumah itu, biasanya aku akan meminta bantuan tukang bersih-bersih yang sudah kukenal di daerah sana. Beliau akan membantu membersihkan sampah-sampah di halaman, atau paling tidak membantu mencabuti rumput yang tumbuh subuh di musim hujan seperti sekarang.

Entah sudah berapa lama aku melamun sendirian di rumah, suara motor dari luar membuatku sadar jika ibu dan ayahku sudah kembali. Dengan ekspresi bahagia, aku terburu-buru membuka pintu. Aku yakin pasti ada kabar baik yang mereka terima dari keluarga Ani. Secara aku yakin Ani dan keluarganya adalah orang baik-baik, pasti mereka tidak akan menambah sulit langkah yang akan aku dan Ani ambil.

"Gimana, Bu?" tanyaku masih dengan ekspresi bahagia.

Ibuku memilih duduk di ruang tamu. Sedangkan ayahku membuka jaket hitamnya dan langsung masuk ke dalam kamar. Sepertinya dia memang sengaja memberikan waktu untukku dan ibu berdiskusi.

"Tadi ibu udah ngomong sama mamanya Ani. Dia sih kasih saran. Kalau memang kalian mau tetap di gedung untuk resepsi, dia akan bantu 50%. Tapi kalau mau di rumah, mereka bersedia rumahnya dipakai untuk acara. Gimana kamu maunya sekarang?" tanya ibuku sambil menatapku.

Posisiku kini duduk di lantai, bersandar pada kakinya. Menatap wajahnya yang terlihat sangat serius mengatakan hal ini. Aku yakin pasti banyak yang ia pikirkan.

"Aku terserah ibu saja. Gimana baiknya? Riga enggak mau buat ibu pusing. Kalau memang di gedung lebih memudahkan, Riga setuju. Cuma ya gitu enggak perlu undang orang terlalu banyak. Cukup keluarga saja, Bu. Riga juga enggak mau ibu capek ketika resepsi nanti."

"Tapi kalau ibu berpikir tentang biaya, dan di rumah biayanya lebih ekonomis,  Riga nurut aja. Di rumah juga oke. Waktu tidak terbatas. Jika Riga mau mengundang teman-teman kantor, mereka enggak akan terburu-buru buat datang ke sini. Ibu juga kalau capek bisa langsung istirahat. Istilahnya enggak ngoyo gitu loh, Bu."

Perlahan tangan ibuku terangkat. Dia mengusap kepalaku, menepuk-nepuk pipiku dengan manik mata yang berkaca-kaca. Sekali lagi aku cuma bisa terdiam. Tidak tahu apa yang ibu pikirkan. Namun raut wajah sedihnya terpancar jelas. Pastinya dia takut. Dan juga merasakan senang diwaktu yang bersamaan.

"Coba kamu tanyakan sama Ani, lebih baik resepsi yang seperti apa." Kata beliau pada akhirnya. Ibuku juga tidak ingin egois dengan pilihannya. Aku tahu sudah ada pilihan yang beliau pilih. Namun... dia ingin aku diskusikan terlebih dahulu dengan Ani. Karena, kami lah nanti yang akan menjalaninya.

"Baik, Bu. Riga coba diskusikan sama Ani dulu. Bagaimana baiknya."

***

Setelah tadi malam menghubungi Ani sampai sekitar 2 jam, akhirnya kami dapat kesimpulan. Resepsi kami tetap di gedung, hanya saja kami mencoba cari gedung mana yang bisa dipakai tanpa batas waktu.

Tapi di mana mencari gedung seperti itu? Apalagi Ani sendiri sudah meminta tanggal pernikahan kami nanti tepat di bulan ketika dia berulang tahun, Februari.

Jujur aku sendiri tidak yakin bisa menemukan gedung yang baik, dan sesuai keinginan dalam jangka waktu tiga bulan saja?

Kami yang terpisah jarak pada saat ini benar-benar dibuat pusing. Aku yang berada di Jakarta sendirian, berarti harus berjuang menemukan tempat yang tepat untuk resepsi kami nanti.

Sebenarnya selain gedung, dan segala keperluan resepsi, masih banyak hal yang perlu kami lakukan sebelum menikah kelak. Seperti kelengkapan pra nikah. Kata ayahku, aku dan Ani seharusnya sudah langsung mendaftarkan pernikahan ke KUA setempat. Akan tetapi masalahnya, Ani belum bisa kembali dalam waktu dekat ini. Mau tidak mau aku harus menunggunya.

"Kamu udah hubungi Ani, Ga?" tanya ibuku pagi ini saat aku bersiap akan berangkat kerja.

Kepalaku mengangguk saja. Sambil membawa tasku serta, teh hangat buatan ibu, aku duduk di kursi tamu sejenak. Sebelum memakai sepatuku untuk berangkat, aku sempat termenung kembali. Mengingat setiap kata yang terselip dari bahasa Anis semalam.

Iya, enggak papa, Mas. Di gedung aja. Cari yang waktunya bisa panjang. Bukannya teman-teman mas Riga butuh waktu lebih banyak? Kalau bisa gedung sekalian cateringnya. Supaya enggak repot lagi.

Tapi...

Enggak perlu sekalian sama riasan pengantin dan bajunya. Mungkin bajunya kita buat saja, Mas. Kemarin acara lamaran kita kan belum sempat buat. Untuk acara pernikahan nanti kita buat aja ya. Akadnya aja sih yang penting. Untuk resepsinya ambil yang modern aja, Mas. Enggak perlu yang adat. Ribet.

Aku sih ada kenalan yang bisa bantu jadi photographer nanti. Dia juga bisa bantu syuting juga. Kan siapa tahu nanti mas Riga mau lihat lagi video ijab kabulnya. Bisa diputar berulang-ulang.

Kalau aku simpulkan satu persatu, Ani ingin membuat baju akadnya sendiri. Aku tahu, memang hal ini hanya sekali dalam seumur hidup. Tapi masalahnya, jika mengeluarkan uang banyak hanya untuk baju akad, kenapa uangnya tidak dipergunakan untuk kebutuhan setelah nikah? Seperti membeli perlengkapan rumah tangga kan?

Lalu kesimpulan yang kedua, Ani ingin moment pernikahan kami diabadikan dengan baik. Itu berarti, aku harus menyewa photographer itu yang katanya teman Ani. Tapi masalahnya, memangnya bisa dikasih harga bersahabat? Bukannya bisnis tetaplah bisnis.

Dan yang terakhir, aku yakin masih banyak keinginan Ani yang belum tersampaikan padaku. Karena itu lebih baik dia cepat kembali dan mengatakan secara langsung dan detail apa saja yang ia mau diacara kami nanti.

"Jangan dijadikan beban, Ga. Kamu laki-laki. Kamu yang ambil keputusan bagaimana baiknya untuk dijalani. Jika pada masa ini saja kamu terombang-ambing begini, bagaimana nanti setelah menikah."

Entah sejak kapan ibu duduk di sampingku. Dan dia mengatakan sesuatu yang benar-benar menusukku. Iya, ibu benar. Aku yang harus memutuskan baiknya seperti apa.

Continue..
Belun guys. Yg tanya klimaksnya kapan. Sabar.. Dikit lagi.. Ini cerita kagak panjang. Dan gue pastiin februari kelarr.. Hahaha..

SAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang