Bab 5

7.2K 779 38
                                    

Aku bukanlah pengungkap rasa yang ahli, namun hanya saja aku lebih suka menunjukkan sikap yang membuat hidupmu jauh lebih dihargai. Seperti menikahimu.

Jujur aku malu. Malu sekali. Ketika ibu memberikan nomor gadis itu padaku, setelah aku yang memang lebih dulu mengaguminya, aku seperti kebingungan harus melakukan apa. Walaupun aku pernah menjalani hubungan beberapa kali dengan perempuan lain, tapi tetap saja akhirnya tidak semanis permulaannya. Karenanya, aku tidak ingin kali ini berakhir hal yang sama.

Namanya Ariani Putri. Dipanggilnya Ani. Atau kemarin ibuku menyebut nama orangtuanya dengan panggilan mama Ani.

Setelah kemarin aku meminta ibu untuk mencari tahu tentang gadis itu, ibu langsung berubah menjadi wartawan asli. Dia berbincang-bincang dengan banyak orang yang mengenal keluarga dari gadis itu. Karena aku yakin ibu ingin mengetahui secara detail mengenai perempuan yang berhasil menarik perhatianku.

"Terus kamu kapan mau hubungi dia? Ibu udah bilang loh, Ga, sama mama Ani."

Aku sempat terdiam, melihat secarik kertas yang berisi nomor telepon gadis itu.

"Nanti Bu, Riga hubungi dia." Kujawab cepat saja. Karena malam ini aku sudah terlalu lelah sepulang dari bekerja. Meskipun besok adalah hari libur, tapi tetap saja kegiatan besok adalah yang terpadat.

Setelah sabtu kemarin pergi ke undangan Adon, sabtu besok ini mereka-mereka merencanakan melakukan pertandingan futsal kembali. Apalagi sudah sekian lama kami tidak bertemu dalam konteks olah raga, membuat kami semua benar-benar menunggu moment ini.

"Jangan lama-lama yo. Kasihan anak orang kamu gantungin. Kalau kamu suka ya langsung dilanjut. Kalau enggak suka, jangan dipermainkan."

"Kan kenalan dulu, Bu. Enggak langsung nikah."

"Ya kenalan boleh. Tapi jangan dipacarin doang. Kamu udah tua loh, Ga. Ibu aja panik sama usia kamu yang belum-belum ketemu jodoh."

Wajah khawatir ibu membuatku tertawa. Aku mengangguk-angguk paham atas kekhawatirannya itu. Jujur aku berjanji akan menghubunginya. Tapi bukan malam ini.

***

Permainan futsal berakhir dengan kemenangan. Meskipun kami sudah lama sekali tidak bermain futsal bersama, tapi kekompakan kami tetap terjaga.

Apalagi Ditha. Perempuan itu tidak dapat kusepelekan untuk masalah teknik bermain futsal. Dia melakukan permainan ini dengan sangat baik. Sampai aku merasa selama ini Ditha terus berlatih tanpa memberitahu kami semua.

"Don, mau ke mana lo? Langsung balik?"

"Iya. Gue langsung balik ya. Bini gue sendirian di rumah."

"Bah, kayak orang beneran aja lo." Sindir temanku yang lain, ketika Adon memilih untuk pulang lebih dulu.

"Lo juga, Ga? Mau pulang? Apa mau nganterin Ditha pulang?"

"Gue dijemput bokap. Ngaco lo. Emang si Riga tukang ojek gue."

"Tuh lo dengar sendiri, Ditha mana mau gue anterin." Kataku menanggapi. Semua orang tertawa bersamaan. Seakan aku dan Ditha yang dijadikan bahan bercandaan dari beberapa waktu lalu belum juga usai.

"Hati-hati loh, yang awalnya cuma di cie-cie'in, besoknya nikah beneran. Lo enggak kayak gitu kan, Ga?" tanya temanku.

Aku langsung menggeleng. Pikiranku langsung teringat nomor hape dari gadis itu yang sudah kusimpan di ponsel ini.

"Enggak lah, Ditha sahabat gue. Temen gue. Sama kayak lo semua. Jangan pada mulai deh." Jawabku sambil meneguk sebotol air dingin.

Di sampingku Ditha seperti mengangguk setuju. Dia juga tahu, aku dan dirinya hanya seperti sahabat saja. Tidak lebih.

SAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang