***
Tepat di samping sebuah gedung pencakar langit, sebuah tempat itu berdiri dengan sederhananya. Banyak sekali orang-orang yang singgah. Sekedar menyeruput kopi, atau sekedar bercengkrama ria. Kebanyakan dari mereka adalah pekerja kantoran yang mempunyai kejenuhan masing-masing pada pekerjaannya. Dan pada malam tertentu, tak jarang juga anak muda yang mampir untuk menghabiskan waktu bersama kawan-kawannya.
Jika dilihat dari kejauhan, terlihat sangat kontras suasana antara meja satu dengan meja yang lain. Sebagian terlihat bergitu ceria, sebagian lainnya, dipenuhi raut muka yang penuh duka.
Tak henti-hentinya aku pandangi orang-orang disekitar. Hingga aku lupa terhadap diri sendiri yang masih diselimuti oleh sebuah permasalahan. Perlahan, ku mulai sadarkan dahi ini pada sisi meja. Memukul meja berkali-kali dengan sebuah kepalan tangan, memasuki pikiran yang kubiarkan melayang-layang.
"Entah sampai kapan ini usai. Sampai kapan aku mampu bertahan pada luka yang sama?"
Terucap kalimat dari bibir yang enggan membukanya lebar-lebar. Kembali teringat kala berdua bersamanya, duduk di meja yang kutempati saat ini. Ada rasa ingin, namun seakan terkalahkan dengan rasa penyesalan. Seketika bibir ini terucap, mengapa aku dengannya bisa bersama.
Hingga tak terasa jarum pendek sudah mengarah pada pukul sebelas malam, seseorang telah membangunkanku dari pulasnya tidur yang tidak kusengaja. Sudah terpampang kalimat closed pada kaca pintu masuk.
Dengan mata yang masih meraba-raba cahaya, terlihat para karyawan café sibuk membersihkan gelas dan piring yang masih berserakan. Dengan segera, aku pulang dengan desakan hati yang penuh tanda tanya.
...
Kubuka catatan diary-ku dari dalam tas. Kumulai menulis cerita-cerita, yang mungkin tidak ada manfaatnya bagi siapa saja yang membacanya. Tidak tidak, dalam hati, rasanya aku ingin tidur saja. Namun beberapa saat kembali membukanya, bukan catatan diary, melainkan smartphone yang berisikan pesan dari seseorang.
Perasaannya tampak sama, tidak ada perubahan. Aku kembali tenggelam pada permasalahan yang begitu rumit. Menyandarkan kepala ke sisi ranjang, bibir kembali terucap.
"Mengapa ini bisa terjadi, mengapa bisa aku dengannya berpisah."